Skip to main content

Mengurai Soal Tata Edar dan Kuota Layar Film Nasional


Liputan6.com, Jakarta Masih dalam suasana Idul Fitri, acara yang digelar Senin (3/8/2015) pekan lalu itu diberi nama "Halal Bihalal Media dengan Jajaran Direksi Cinema 21." Namun, kata seorang wartawan senior yang biasa meliput film, setelah bertahun-tahun baru kali ini rasanya pemilik jaringan bioskop Cinema 21 itu mengadakan acara halal bihalal.

Jadi, sebetulnya, tentu ada agenda yang ingin disampaikan pihak jaringan bioskop terbesar di Indonesia itu pada media. Apalagi sampai jajaran direksinya pun hadir.

Yang hadir adalah CEO Cinema 21 Hans Gunadi, beserta dua direktur Tri Rudy Anitio dan Jimmy Heryanto, plus Corporate Secretary Cinema 21 Catherine Keng.

Agenda pembicaraan antara wartawan dengan direksi Cinema 21 tentu saja persoalan yang tengah jadi polemik hari-hari ini di kalangan pelaku industri film nasional, yakni perihal tata edar dan kuota layar bioskop untuk film nasional.

Tulisan ini hendak mengurai persoalan tersebut dari hulu sampai ke hilirnya. Bukan untuk mencari siapa yang benar atau salah, melainkan mendudukkan masalah pada proporsinya hingga berimbang.

Polemik tata edar dan kuota layar berpangkal pada Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Di pasal 32 UU tersebut, dikatakan pelaku usaha pertunjukan film, yakni eksebitor atau pihak bioskop, wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60 persen dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama enam bulan berturut-turut.

Di pasal 34 dikatakan, ketentuan sebagaimana dimaksud di pasal 32 diatur dalam peraturan menteri.
Nah, tepat di libur Lebaran kemarin rilis empat film nasional, Comic 8: Casino Kings-Part 1 (Falcon Pictures), Surga yang Tak Dirindukan (MD Pictures), Lamaran (Rapi Films) dan Mencari Hilal (MVP Pictures & Mizan Films). Selain empat film tersebut, rilis pula film musim panas Hollywood, Ant-Man (Disney-Marvel Studio/di Indonesia hak edarnya oleh PT Omega Film).

Ant-Man kemudian langsung dapat jatah layar paling banyak. Film itu dianggap yang bikin film Lebaran macam Mencari Hilaltergusur dari bioskop.


Dari sini kemudian Firman Bintang, seorang produser film yang juga mengetuai organisasi bernama PPFI (Persatuan Produser Film Indonesia) berkoar-koar kalau pihak bioskop telah bersikap tak adil pada film nasional. Ia menyebut angka 500 layar yang diberikan untuk Ant-Man. (Angka itu dibantah pihak Cinema 21. Catherine Keng mengatakan Ant-Man dapat jatah 242 layar.)


Sambil mengatakan tata edar yang tak adil itu, Firman mendesak pemerintah segera membuat peraturan pelaksanaan tata edar film nasional dengan film impor sebagaimana amanat UU perfilman tahun 2009.
Dari situ sebenarnya semua persoalan ini. Solusinya sederhana saja. Pemerintah tinggal membuat peraturan menteri sesuai amanat undang-undang.

Namun, mengatasi persoalan tata edar ini tak sesederhana dengan membuat peraturan menteri. Ada alasannya kenapa jajaran direksi Cinema 21 perlu menjelaskan persoalan tata edar film di bioskop kepada wartawan dalam momen yang mereka sebut halal bihalal.

Kita semua tahu, bioskop hidup dari penonton. Tanpa penonton, bioskop bisa gulung tikar. Apa mau dikata, film yang paling banyak ditonton saat ini adalah film impor, terutama dari Hollywood.

Kita masih ingat, kisruh pajak film impor yang terjadi 2011 silam saat selama enam bulan film studio besar Hollywood tak bisa edar di sini, bioskop sepi pengunjung. Pengalaman buruk itu tampaknya tak mau lagi dialami pemilik bioskop.
Untuk mengerti persoalan lebih mendalam soal tata edar, ada baiknya menengok sejarah.

Comments

Popular posts from this blog

Monolog: Ibu, Dimanakah Pancasila?

Nasionalisme adalah modal bagi anak bangsa untuk mempertahankan kedaulatan  seluruh rakyat dengan pilar kearifan lokal yang menjadi tiang budaya bangsa sebagai penyaring budaya luar agar menjadi bangsa yang memiliki identitas dan berkepribadian. Telah dirumuskan Pancasila oleh para pendiri bangsa sebagai dasar dan pondasi negara, mencakup kemajemukan yang dilambangkan sebagai Bhinneka Tunggal Ika. Dimana arti perbedaan bukanlah celah untuk terpecah-belah, tetapi justru celah yang harus diisi oleh kesatuan paham dalam semangat Nasionalisme. Karena itu, mari kita tanyakan kepada Sang Ibu …..… Ibu, Dimanakah Pancasila? Seorang anak bertanya kepada ibunya, Ibu, dimanakah Pancasila? Bukankah ia rumah kita? Bukankah ia identitas bangsa kita? Sembari tersenyum, Sang Ibu berkata, Anakku, Pancasila itu ada di sekeliling kita, Banyak manusia bisa melihat sekeliling dengan matanya, Tetapi mereka tak bisa melihat dengan hati nurani Ia ada di detak jantung buruh-buruh yan...

Asupan Sastra Reboan Malam Ini

Forum Sastra Reboan malam ini, Rabu, 25 Februari 2015, mengambil tema “Asupan”. Kali ini, forum itu akan menyuguhkan berbagai menu. Ada pengenalan buku antologi puisi “Titik Temu”. Buku ini menampilkan karya 60 penulis sastra seperti Masita Riany, Fendy Kachonk, Umira Ramata, Dewi Nova, dan lain-lain. Menurut Yo Sugianto, salah satu motor Sastra Reboan, forum itu juga akan diramaikan oleh sejumlah penyair dari Bandung. “Penyair dari Bandung yakni Ratna M.Rochiman, Epiis Gee dan Rezky Darojatus Solihin akan tampil, khusus datang untuk Sastra Reboan bersama penyair Matdon,” tutur Yo dalam akun Facebooknya. Pembaca puisi lainnya adalah Diana Prima Resmana, penulis dari Forum Sastra Bekasi dan Yoni Efendi, karyawan yang ingin menerbitkan buku puisi karyanya sendiri. Tak kalah menarik adalah penampilan tari Salsa yang dibawakan Athika Rahma Nasu, seorang penari dan instruktur. Ada pula Sanggar Svadara – Traditional Dance and Music, yang merupakan perkumpulan pecinta ...

Pembuktian Ilmiah Manfat Meditasi

Tiga puluh tahun yang lalu, setelah gelombang hippy yang melanda dunia selama satu dekade mereda, dunia barat menemukan satu ilmu baru yang dapat mereka jadikan sebagai pegangan hidup yaitu meditasi. Ilmu ini sebelumnya tidak mereka tanggapi secara serius, karena praduga mereka yang mengaitkan meditasi dengan ilmu setan, ilmu tukang sihir dan sebagainya. Mereka takut bila belajar meditasi, jiwanya tidak dapat diselamatkan dan pintu sorga tertutup untuk selama-lamanya. Pemikiran kaum tradisional konservatif ini tidak terlalu ditanggapi secara serius oleh kaum hippy yang menganggap bahwa mereka menjadi budak dogma selama berabad-abad dan dikungkung dalam lingkup pandangan penuh curiga terhadap pandangan-pandangan maupun cara hidup yang lain. Oleh karena itu, mereka berusaha lebih bersahabat dengan alam, mereka umumnya memiliki pandangan yang jauh lebih terbuka, tak terikat pada dogma, sehingga siap menerima sesuatu yang baru dan sangat "exciting" yaitu med...