Sungai waktu telah mengantarkan seorang
penyanyi bernama Franky Sahilatua menjadi pemberontak, petualang dan
pejuang kemanusaian lewat seni. Dengan sadar ia melepaskan dirinya dari
industri rekaman sejak 1996 lalu, tetap menciptakan lagu dan bernyanyi
di segala panggung. Seorang seniman harus menciptakan
panggung-panggungnya perspektif yang melebar.
Apakah seniman perlu
partai politik sebagai panggungnya? Franky yang telah menelorkan banyak
lagu abadi bersama adiknya, Jane seperti “Perjalanan” atau “Musim
Bunga” dengan ringan mengatakan “ketika bernyanyi, seniman telah
berpolitik. Tak perlu panggung parpol untuk berpolitik. Saya pernah
menyanyi di perahu dan nelayan mendengarkan di tepi pantai, atau di
selatan Cianjur dengan padi-padi menjadi hiasan”.
Maka meluncurlah
lagu yang mampu membuat pengunjung tak kuasa bertepuk tangan sambil
bergoyang. Liriknya antara lain “Aku adalah papua, aku adalah makhlukmu,
akulah nusatenggara, akulah sulawesi, yang tak pernah berujung semenjak
republik ini berdiri....tanah kami tanah kaya lau kami laut
kaya....tapi tidur di atas emas, berenang di atas minyak, tapi bukan
kami punya, kami hanya menjual buah-buah pinang.....semua anugerah
itu....kami tak mau bersalah anak-anak cucu....harusnya ada
perubahan...harus ada perubahan....ole sio sio...rambe yamko..rambe
yamko....”
Saat tampil di panggung Sastra Reboan #23 yang
mengambil tema “Dengan Cinta”, kemarin (24/02) di Warung Apresiasi
(Wapres) Bulungan, Jakarta Selatan, dengan balutan celana jeans dan baju
putih kuning kotak-kotak, Franky tak hanya bertutur dengan perjalananya
mengarungi sungai waktu, tapi juga bernyanyi membawakan lebih dari 5
lagu yang mendapat applause meriah dari pengunjung setia Sastra Reboan.
Bagi
Franky, hadir di Wapres adalah pulang ke rumah. Ia lalu bercerita awal
1970-an ketika menginjakkan kaki ke Jakarta dan bersama Teguh Esha yang
menulis ‘Ali Topan Anak Jalanan” naik motor ke Puncak, bahkan pernah
hampir mati ditelan ombak Pantai Sanur di Bali. Teguh Esha naik ke
panggung, dan membaca sebuah puisi berjudul “Franky Sihalatua” yang baru
ditulisnya di sebuah kertas lusuh.
Dalam perbincangan bersama
Sahlul Fuad, salah satu penggiat Sastra Reboan, yang diselingi menyanyi,
banyak hal dikisahkan oleh Franky Sahlatua yang kini aktif di ormas
Nasional Demokrat. Dari soal kebangsaan, kesalahan cara pandang bangsa,
keterpurukan industri musik, kepedulian seniman hingga episiode terakhir
perjalanannya yaitu Episiode Keluarga. Episiode yang paling berat dalam
perjalanan karier saya, tambahnya sebelum mendendangkan petikan sebuah
lagu untuk isterinya.
Acara rutin setiap Rabu di akhir bulan dari
Paguyuban Sastra Rabu Malam (Pasar Malam) ini juga menampilkan antara
lain artis Sarah Vi yang membawakan satu puisi karyanya, para penulis
wanita yang baru-baru ini menerbitkan karyanya dalam buku “24 Sauh” dan
Cessilia Cess dari Sanur, Bali yang membawakan sebuah cerpen.
Tentang
nasib dunia seni, termasuk sastra, Franky yang pernah berkolaborasi
dengan Iwan Fals dan Ian Antono dalam lagu “Terminal” merasa prihatin
atas kepedulian pemerintah. “Kesenian di mata pemerintah tetap tidak
berubah. Kesenian dilihat hanya sebatas komoditi pariwisata, bukannya
sebagai salah satu pembangunan bangsa. Sementara para anggota Dewan yang
berlatarbelakang seniman rata-rata masih “berbaju kurang pas” untuk
menjadi seorang politikus.
Namun hal ini, kata penyanyi ternama
Franky Sahilatua, tidak akan menyurutkan semangat seniman untuk terus
menyuarakan keadaan rakyat yang makin memprihatinkan. Seniman tak perlu
menjadi anggota partai politik untuk berpolitik. Menyanyi sudah
merupakan kegiatan berpolitik tanpa harus menjadi anggota parpol. Lewat
lagu kita bicara, lewat seni kita berlaga.
“Kalau dulu saya
bernyanyi di atas panggung penuh lampu. Kini saya lebih menikmati
bernyanyi di atas truk-truk dan di depan Istana. Sawah, pantai juga
panggung dengan suasana yang beda. Sejak reformasi orang sudah tak
bicara tentang Pancasila, tapi saya melawan arus, saya menciptakan lagu
Pancasila."
“Untuk semua puji namaNya, Untuk semua cinta sesama,
Untuk semua warga menyatu,Untuk semua berbagi rasa, Untuk semua saling
membagi pada setiap insan sama dapat sama rasa....ooooo...Indonesiaku”
Salah
satu lagu lainnya yang dinyanyikan Franky, dan diikuti dengan koor
tanpa komando adalah “Kita Kita Kamu Kamu”, dengan liriknya yang sarat
kepahitan “Kemiskinan penuh airmata, yang miskin tambah miskin, kita
kita kita, yang kaya tambah kaya! Kamu kamu kamu! Bangsa yang hutang,
koruptor yang hutang, rakyat yang menanggung beban!”
Cerpen dan PuisiBand
Gribs (Gondrong Kribo Bersaudara) menjadi pembuka acara di tengah cuaca
yang baru menyapa dengan ramah usai hujan mengguyur sejak pagi. Band
beraliran rock ini beranggotakan Reza (vokal), Dion (gitar), Arif
(bass), Rastha (drum) membawakan sebuah lagu, “Klaten” dan lagu kedua
‘Rocker”. Penyair gaek asal Ngawi, Jawa Timur, Hardho Sayoko SPb
membawakan puisi “Menjelang Fajar Penghabisan” dan geguritan puisi
“Cathethan Abang Cathethan Ijo”. Penggiat Sastra Reboan, Sahlul Fuad
juga berpuisi dengan karyanya “Baju Takwa Tua, Bercinta di Rumah Tua”
dan sebuah puisi yang belum tertulis namun sudah tercatat “Menikah Siri”
yang cukup singkat padat dan tajam, “Enaknya diam-diam/deritanya
bilang-bilang”.
Suasana makin meriah karena apresiasi penonton
yang memang sengaja datang untuk menikmati pasar seni khas Sastra
Reboan. Pembacaan cerpen oleh Cesillia Ces, penyair dari Sanur Bali yang
khusus datang untuk berbagi membawakan karya Khrisnapabicara “
Mengawini Ibu” diiringi petikan gitar Shandy. Lalu dilanjutkan
musikalisasi puisi Elang Indra Lazuardi feat iringan gitar Shandy dengan
“Keyla” yang apik.
Acara terus bergulir dengan tampilnya diskusi
singkat tentang bedah buku antologi puisi & cerpen “24 Sauh” yang
dipandu Setyo Bardono, penyair yang penggiat Sastra Reboan. Buku ini
mendapatkan penghargaan MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai buku yang
ditulis dari berbagai profesi. Para penulis ini tergabung dalam Tinta
Wanita sebuah komunitas yang nantinya diharap akan terus berkarya,
utamanya menulis. Mereka adalah Agnes A. Majestika, Apri Swan Awanti,
Ariana Pegg, Dewi Motik Pramono, Dewi Yanthi Razali, Dharmawati Tst, Eva
Budiastiuti, Fitryian G. Dennis, Happy Salma, Herlina Mustikasari, Ida
Ahdiah, Lutik Siswani Alibasyah, Maria A. Sarjono, Olga Emery, Sadrah
Prihatin, Sanie B. Kuncoro, Tika Wisnu, Tjut Irda Triany, Tuti Nonka,
Weni Suryandari, Widyawati Puspa Dewi, Winny Gunarti, Yessi Gusman,
Zeventina Octaviani. Peluncuran buku oleh Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan & Perlindungan Anak, Linda Gumelar pada 1 Februari lalu.
Usai
beberapa penulis wanita itu tampil, acara berlanjut dengan pembacaan
puisi artis film dan sinetron Sarah Vi, lalu mantan wartawan Kompas,
Mahfudin Nigara yang juga dikenal sebagai pengamat olahraga tinju.
Berikutnya kembali tampil Gribs yang terbentuk 12 Mei 2008. Gondrong
kribo Bersaudara dengan sebuah lagu slow rock dan menutup penampilan
junkies mereka dengan lagu Sinetron Indonesia.
Makin malam suasana
makin syahdu dengan pembacaan cerpen oleh cerpenis A. Swan Awanti,
seorang general Manager Majalah Kabare Yogyakarta perwakilan Jakarta.
Setelah pembacaan cerpen tersambung dengan musikalisasi blues Branjangan
yang membawakan 2 puisi karya Slamet Widodo “Lelaki Setia” dan
“Kupu-Kupu Gedongan”bersama Dion, gitaris dari Gribs.
Acara
ditutup dengan pembacaan Puisi “Aku Tak Bisa Bernyanyi” karya Mustofa
Bisri yang dibawakan oleh Linda Manise yang tergabung dalam Sidik Jari
Kawan, penulis puisi majemuk Tegal dan aktif bermonolog. (ki/gie)
Comments
Post a Comment