Skip to main content

Monolog: Ibu, Dimanakah Pancasila?


Nasionalisme adalah modal bagi anak bangsa untuk mempertahankan kedaulatan  seluruh rakyat dengan pilar kearifan lokal yang menjadi tiang budaya bangsa sebagai penyaring budaya luar agar menjadi bangsa yang memiliki identitas dan berkepribadian.

Telah dirumuskan Pancasila oleh para pendiri bangsa sebagai dasar dan pondasi negara, mencakup kemajemukan yang dilambangkan sebagai Bhinneka Tunggal Ika.

Dimana arti perbedaan bukanlah celah untuk terpecah-belah, tetapi justru celah yang harus diisi oleh kesatuan paham dalam semangat Nasionalisme.

Karena itu, mari kita tanyakan kepada Sang Ibu …..…

Ibu, Dimanakah Pancasila?

Seorang anak bertanya kepada ibunya,
Ibu, dimanakah Pancasila?
Bukankah ia rumah kita?
Bukankah ia identitas bangsa kita?

Sembari tersenyum, Sang Ibu berkata,
Anakku, Pancasila itu ada di sekeliling kita,
Banyak manusia bisa melihat sekeliling dengan matanya,
Tetapi mereka tak bisa melihat dengan hati nurani

Ia ada di detak jantung buruh-buruh yang merdeka,
Di bulir-bulir padi yang ditunai para petani dengan senyum dan tembang mereka,
Ikan-ikan yang dijala nelayan dengan penuh kegembiraan karena berlimpah,
Ia ada pada rimbunnya pepohonan di hutan dan mata air,

Pada semua sumber kekayaan alam yang ada di bumi pertiwi,
Juga pada keberagaman suku di nusantara,
Pada seni, budaya dan wastranya,
Ia ada pada beragam agama dan kepercayaan lokal masyarakat nusantara ini

Rasakan dengan nuranimu, nak…
Lihatlah baik-baik dengan mata hatimu
Temukanlah maknanya yang tersirat dan tersurat
Maka akan kau temukan Pancasila itu

Sang anak terdiam, meresapi setiap kata yang terucap dari Sang Ibu
Kemudian ia tersenyum dan berkata lirih
Aku mengerti ibu, aku rindu Pancasila… tentu mereka juga.
Mari … kita kembali, pada Pancasila

Penulis adalah aktivis lingkungan dan pemerhati seni budaya

Sumber: Monolog: Ibu, Dimanakah Pancasila?

Comments

Popular posts from this blog

Titik Temu Hingga Tari Salsa di Sastra Reboan

“Asupan”, kata yang sering terdengar,dipakai untuk pentingnya gizi bagi manusia. Kata yang unik karena tak ditemukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dan adanya di kamus Bahasa Sunda.Asupan berasal dari kata “asup” yang artinya sama dengan “masuk”di KBBI. Asupan tak hanya untuk soal gizi, kita pun hidup dengan banyak mendapat asupan, entah itu dalam seni modern, komunikasi dan lainnya. Namun, kita juga mendapat asupan dari diri sendiri, dari para pemimpin yang sayangny a tidak memberikan gizi bagus. Tak usah bicara dunia politik yang makin semrawut, sastra pun masih jadi anak tiri, tak pernah disinggung oleh petinggi Negara. Sastra Reboan mencoba mengambil tema “Asupan” dengan harapan ada yang bisa masuk dalam relung kesadaran kita dari para pengisi acara nanti.

SALAM SASTRA, Komunitas KAMPOENG JERAMI Luncurkan Buku Kumpulan Puisi Berjudul “TITIK TEMU”

RBI, BENGKULU - Bertepatan dengan peringatan Hari Ham se-dunia ke-66 yang jatuh pada hari ini, Rabu, 10 Desember 2014 maka dengan resmi Komunitas Kampoeng Jerami meluncurkan buku kebanggaan mereka yang diberi judul “Titik Temu”. Setelah melalui berapa tahapan mulai dari pengumpulan naskah, lay out, dan editing antologi puisi yang berupaya merekam sem ua catatan kecintaan pada sesama ini akhirnya menyeruak di dunia sastra Indonesia.  Rasa Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa serta ucapan terima kasih kepada seluruh penulis, teman, kawan, guru, dan tangan-tangan yang memiliki kepedulian pada Komunitas Kampoeng Jerami dengan telah membantu segala proses, baik dari proses awal sampai akhirnya nanti buku ini mampu hadir di beberapa wilayah dan daerah sebagai pintu masuk dalam mengampanyekan untuk saling kasih dan sayang terhadap sesama, lingkungan, serta alam semesta yang menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap kebutuhan dasar sebagai manusia.

Peluncuran Buku Amarah Lembaga Bhinneka

Kabar Budaya – RetakanKata Kekerasan dan penindasan minoritas yang berbuntut pada pelanggaran HAM di Indonesia telah menjadi berita renyah yang setiap hari disajikan bagi masyarakat Indonesia. Mau tidak mau, kita menelan sajian itu ketika peran aparat negara dalam menyikapi masalah tersebut cenderung semakin menurun. Rakyat marah namun sulit bertindak. Rakyat menderita di negeri yang katanya kaya. Rakyat pun hilang percaya, terutama kepada pelaku pemerintahan yang korup dan abai perannya. Bagaimana kami bersuara? Perbedaan pendapat dan keyakinan dalam memperjuangkan HAM yang seharusnya adalah dinamika di era Pasca Kemerdekaan sering mendapat tekanan, bahkan pembungkaman. Anda terjebak, sulit bernapas dan semakin sulit bernapas ketika pihak yang berwenang semakin abai dalam menyelesaikan persoalan ini, sementara pihak lain berpesta di atas penderitaan rakyat (minoritas). Antologi puisi & cerpen AMARAH hadir di tengah carut-marut bangsa Indonesia dalam...