Kerja itu tak terlepas dari adanya “stamina” dari pengelolanya, apalagi bagi suatu kegiatan yang secara rutin diadakan setiap bulannya, di hari kerja dan malam hari di ibukota yang identik dengan kemacetan melelahkan warganya. Namun, itu realitas yang harus dilakoni Sastra Reboan, panggung sastra yang dikelola oleh Paguyuban Sastra Rabu Malam (Pasar Malam) yang akan menjadi Yayasan Sastra Reboan.
Sastra Reboan telah berusia enam tahun, sejak pertama kali dipanggungkan di Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan, Jakarta Selatan pada 30 April 2008 dan hingga kini tetap eksis di tempat yang sama. Usia yang melewati penuh warna, dan diperingati dalam acara yang sederhana dalam panggung sastra Rabu, 30 April 2014 lalu di Wapres, Bulungan.
Meski dalam suasana ulang tahun namun bukan tema itu yang diusung, melainkan “Kepedulian”. Ini tak lepas dari misi Sastra Reboan yang menjadi pintu bagi semua untuk mengenal sastra, dengan tetap dan harus peduli dengan apa yang terjadi di sekitar kehidupannya. April banyak hal diperingati, dari Kartini, kekerasan seksual pada anak seperti terjadi di Jakarta International School hingga berbagai hal yang tersaji di media.
“Tema yang menarik, seperti halnya apa yang tersaji malam ini. Saya berharap Sastra Reboan tetap eksis, dan tetap jadi wahana para penulis muda menemukan dirinya,”ujar Heru Nugroho, staf khusus Menpora yang sedari muda sudah menyukai sastra. Guru besar Fakultas ISIPOL Universitas Gajah Mada ini datang sebelum acara dimulai, dan bertahan hingga usai.
Di tengah ucapan selamat atas perjalanannya selama enam tahun, ada perenungan, harapan dan juga kritikan pada Sastra Reboan. Itu yang terekam dalam bincang seputar perjalanan Sastra Reboan bersama Johannes Sugianto, Ketua Sastra Reboan bersama Ken Zuraida yang dikenal luas sebagai aktris, sutradara dan produser teater Indonesia.Cerpenis Kurnia Effendi yang rajin datang di Sastra Reboan memandu dialog itu.
“Menjaga keberadaan sebuah komunitas tidaklah mudah. Sastra Reboan mampu bertahan selama enam tahun merupakan hal yang yang luar biasa. Ini menandakan ada “stamina” panjang dari para pengelolanya. Namun, hal ini merupakan tantangan seperti halnya komunitas ini harus berkembang dan melakukan regenerasi,”kata Ken Zuraida yang masih dalam keadaan sakit.
Usai acara, saat ditanya tentang komunitas yang diawaki oleh para penulis dan penggemar sastra, Ken Zuraida yang isteri almarhum WS Rendra mengatakan,”Bagiku, Sastra Reboan memasuki usia 6 tahun menandakan ada “stamina” panjang dari para pengelola dan pelaksana acara. Namun begitu masih harus dilakukan semacam pengembangan acara sastra bulanan ini, misalnya per tema, juga tak terlalu banyak warna agar bisa lebih fokus dan terasa dedikasi dan intergritasnya.
“Sastra Reboan, lanjutnya, Sastra Reboan, Bulungan, Rendra, Bengkel Teater saling kait-mengait,”tambahnya sambil mengenang tahun 2009 lalu saat pertama kali ia mendengar nama Sastra Reboan dari penyair Slamet Widodo yang mengajak WS Rendra untuk tampil di panggung itu.
“Sekarang saya di sini, dan sudah enam tahun usia komunitas ini. Luar biasa,”kata mbak Ida yang telah berteater selama 30 tahun dari daerah ke daerah dan sebagian besar kota di belahan dunia.
Tentang “stamina” yang memerlukan dana, Johannes Sugianto mengatakan bahwa selama ini Sastra Reboan bertahan dengan swadaya pengelolanya, dan mengadakan saweran dalam setiap even. “Saweran yang oleh Sapardi Djoko Damono pernah dikomentari sebagai sesuatu yang makin langka,”ujarnya.
Dalam bincang itu, juga muncul usulan dari Dodi Ahmad Fauzi, penyair agar Sastra Reboan tak hanya menyajikan panggung sastra saja tapi juga festival atau sayembara menulis puisi secara nasional. Hasilnya, selain dibukukan juga dilanjutkan dengan lomba baca puisi.
“Selain itu, saya mengharapkan adanya apresiasi dari penikmat Sastra Reboan untuk lebih apresiasi terhadap para penampil di panggung. Bukannya asyik berbicara saat pementasan berlangsung. Ini kritik buat kita semua,”kata Dodi yang juga pemimpin redaksi sebuah majalah seni.
Perayaan kecil kemudian tersaji dengan peniupan lilin kue ulang tahun oleh awak Satra Reboan, Ilenk Rembulan, Dorsey Silalahi dan Nina Yuliana. Beberapa pengelola lainnya seperti Dedy Tri Riyadi, Budhi Setyawan, Weni Suryandari, Setio Bardono, Sahlul Fuad dan Zay Lawanglangit (yang pulang lebih dulu)tidak bisa turut dalam acara ini karena terbelenggu pekerjaan dan kemacetan.
Pesona
Selain bincang ringan itu, acara yang dimulai agak terlambat setengah jam karena kemacetan menawan para pengisi acaranya diisi dengan penampilan ekspresif dan menawan dari artis ternama Cornelia Agatha, penulis beken Teguh Esha (yang karyanya “Ali Topan Anak Jalanan” sedang difilmkan kembali), pencipta lagu dan penyair Jodhi Yudono, cerpenis Ari MP Tamba serta pembacaan puisi dari beberapa penulis lainnya.
Acara dibuka dengan pembacaan puisi “Doa Petani” oleh Koi Khoiriyah, mahasiswa Jurusan Pertanian UIN Jakarta membaca puisi “Doa Petani”, dilanjutkan “Melawan Lupa” oleh Ririn Sefsani, aktivis perempuan. Sedangkan Air MP Tamba yang mengenang pertama kali tampil saat ulang tahun pertama Sastra Reboan, mengapresiasi Yoyik Lembayung dan Warung Apresiasi,membawakan puisi lamanya “Lekuk Perempuan”.
Di tengah acara, pengunjung terus berdatangan dengan lelah akibat macet. Teguh Esha tampil membacakan puisinya beberapa puisinya seperti “Pleidoi Anak Jalanan”. “Kibarkan Merah Putih” & “Ibu, Aku ini Anakmu” bersama Yono. “Ali Topan Rock and Road” yang merupakan tema film “Ali Topan Anak Jalanan” juga dinyanyikan oleh Teguh Esha dengan irama Blues. Dilanjutkan oleh Abah Yoyok membawakan puisinya berjudul ‘Hidung Unek-Unek” secara musikalisasi diiringi oleh gitar Branjangan.
Waktu menunjuk pukul 21.10 wib saat Cornelia Agatha melangkah ke panggung disambut tepuk tangan, sebelum ia membacakan puisi WS Rendra berjudul “Sajak Ibunda”. Kemudian dilanjutkan dengan puisi “Sebentar” karya Slamet Widodo. Sound system yang mengalami gangguan malam itu tak menggoyahkan pesona Lia, panggilan artis dan model iklan ini bagi pengunjung yang makin memadati ruangan Wapres.
Acara makin meriah ketika Jodhi Yudono, yang awal April lalu sukses menyajikan nyanyian puisi “Dendang Sejak Penyair Minang” di Grand Indonesia, tampil ke pentas. Lagu pertama yang ditampilkan “In Pain” bersama Feryna Setyowati, kemudian bersama Dimas yang memainkan gendang jimbe, Jodhi membawakan puisi “Sehabis Hujan” karya Darmadi dan “Penerimaan” karya karya Khairil Anwar. Dilanjutkan bersama Violi Kasherman menyanyikan karyanya sendiri “Yogya” dan “Derai-derai Cemara” karya Chairil Anwar. Ditutup dengan menampilkan duo penyanyi, Violi dan Feryna dalam “Setitik Noktah”, Jodhi membuat pengunjung memberikan applaus panjang .
Malam yang makin larut tak menahan acara berlanjut dengan tampilan Budi Ksatrio yang membawakan karya Rendra, “Mengenang dan Membaca Indonesia”, sebelum bincang buku “ “Negeri Tanpa Nama” yang memuat 20 karya cerpenis.
Dipandu Ilenk Rembulan, salah satu cerpenis buku itu, Madureta Menali menuturkan bahwa proses kreatif diawali dengan mengumpulkan cerpen bersama dalam grup di Facebook. Dari 200 cerpen lalu tersaing dua puluh, dan karya Dhafi Qhadafi terpilih menjadi judul buku itu.
“Saya hanya ingin cerpen saya mendapat apresiasi dari penulis di grup itu, tak menyangka terpilih jadi judul buku,”ujar Qhadafi yang datang dari Yogyakarta untuk turut dalam diskusi itu. Buku yang menurut Ilenk Rembulan meski tanpa tema, berbeda genre tapi secara umum bagus. Ia menyoroti peran editornya yang terasa kurang menyentuh isi bukunya.
Mendekati pukul 22.00 WIB akhirnya panggung Sastra Reboan diakhiri oleh duo MC, Alya Salaisha dan Rivai Adi.
Comments
Post a Comment