Skip to main content

Mahnet Sastra di Ajang “Sastra Reboan”

0Share
Malam ini tepatnya pukul 8:00 saya menyempatkan diri untuk memenuhi rasa penasaran saya yang selama ini belum terpenuhi, yakni menghadiri paguyupan sastra reboan di wapres bulungan yang letaknya di kawasan bulungan blok-M.
 
Semula saya sudah berangan-angan pasti suasananya meriah karena disana di hadiri para pengiat sastra dan penyair-penyair muda yang potensial tentunya. Mungkin juga karena saya yang datang agak terlambat sehingga hanya menyimak dua sajak saja yang di bawakan oleh seorang anak kecil usia belasan yang konon datang dari ciamis karena saking ngebetnya pingin berpartisipasi dan mbak cisca yang konon datang dari papua. tapi tidak mengapa karena tak kalah hebohnya ketika nenek Nani Tanjung melantunkan Dongengnya yang menurut saya sangat melankolis namun agak sedikit narsis. Begitu pun tak membuat saya kecewa-kecewa banget lantaran ada musisi dari jepang kalau ngak salah namanya Cikung-San yang melantunkan lagu-lagu japanisnya dengan sangat memukau. 
 
 “Moment”, satu hal yang membuat saya merasa menyayangkan momen di paguyupan sastra reboan adalah. Para penggiat disitu banyak sekali para amatiran yang gebrakan karya-karyanya belum teruji tajinya. Dengan menyodorkan buku-buku “indie” karya mereka yang menurut saya belum waktunya terbit namun mereka paksa terbit. 
 
Yang jadi tanda tanya saya jelas bukan mutu dan tidak mutunya acara tersebut. Tapi justru kemana para maestro kita, para sastrawan besar kita. Betapa moment seperti itu sangat sulit sekali dibentuk, dan di sastra reboan ini sudah lancar berjalan. Hanya ditempat itu sangat kurang dukungan dan partisipasi para sastrawan, paling tidak untuk tolak-ukur para sastrawan muda dan calon sastrawan. 
 
Sepengamatan saya sepertinya mereka “paguyupan itu” berjalan sendiri dan kalau terus dibiarkan tentu mahnetnya akan hilang. 
 
Apakah para maestro sastra di negri ini akan membiarkan itu terjadi? Saya berharap tidak tentunya. Di era ‘50 mereka para pakar membangun mahnet sastra agar semua masarakat tersedot, tergila-gila. Kemudian timbul pembahasan, kritik sastra dimana-mana agar anak-anak kita bisa menulis karya yang bermutu jadi sangat di sayangkan disaat mereka mulai bisa menulis justru para ayah mereka yang mematikannya.

Comments

Popular posts from this blog

SALAM SASTRA, Komunitas KAMPOENG JERAMI Luncurkan Buku Kumpulan Puisi Berjudul “TITIK TEMU”

RBI, BENGKULU - Bertepatan dengan peringatan Hari Ham se-dunia ke-66 yang jatuh pada hari ini, Rabu, 10 Desember 2014 maka dengan resmi Komunitas Kampoeng Jerami meluncurkan buku kebanggaan mereka yang diberi judul “Titik Temu”. Setelah melalui berapa tahapan mulai dari pengumpulan naskah, lay out, dan editing antologi puisi yang berupaya merekam sem ua catatan kecintaan pada sesama ini akhirnya menyeruak di dunia sastra Indonesia.  Rasa Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa serta ucapan terima kasih kepada seluruh penulis, teman, kawan, guru, dan tangan-tangan yang memiliki kepedulian pada Komunitas Kampoeng Jerami dengan telah membantu segala proses, baik dari proses awal sampai akhirnya nanti buku ini mampu hadir di beberapa wilayah dan daerah sebagai pintu masuk dalam mengampanyekan untuk saling kasih dan sayang terhadap sesama, lingkungan, serta alam semesta yang menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap kebutuhan dasar sebagai manusia.

Titik Temu Hingga Tari Salsa di Sastra Reboan

“Asupan”, kata yang sering terdengar,dipakai untuk pentingnya gizi bagi manusia. Kata yang unik karena tak ditemukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dan adanya di kamus Bahasa Sunda.Asupan berasal dari kata “asup” yang artinya sama dengan “masuk”di KBBI. Asupan tak hanya untuk soal gizi, kita pun hidup dengan banyak mendapat asupan, entah itu dalam seni modern, komunikasi dan lainnya. Namun, kita juga mendapat asupan dari diri sendiri, dari para pemimpin yang sayangny a tidak memberikan gizi bagus. Tak usah bicara dunia politik yang makin semrawut, sastra pun masih jadi anak tiri, tak pernah disinggung oleh petinggi Negara. Sastra Reboan mencoba mengambil tema “Asupan” dengan harapan ada yang bisa masuk dalam relung kesadaran kita dari para pengisi acara nanti.

Monolog: Ibu, Dimanakah Pancasila?

Nasionalisme adalah modal bagi anak bangsa untuk mempertahankan kedaulatan  seluruh rakyat dengan pilar kearifan lokal yang menjadi tiang budaya bangsa sebagai penyaring budaya luar agar menjadi bangsa yang memiliki identitas dan berkepribadian. Telah dirumuskan Pancasila oleh para pendiri bangsa sebagai dasar dan pondasi negara, mencakup kemajemukan yang dilambangkan sebagai Bhinneka Tunggal Ika. Dimana arti perbedaan bukanlah celah untuk terpecah-belah, tetapi justru celah yang harus diisi oleh kesatuan paham dalam semangat Nasionalisme. Karena itu, mari kita tanyakan kepada Sang Ibu …..… Ibu, Dimanakah Pancasila? Seorang anak bertanya kepada ibunya, Ibu, dimanakah Pancasila? Bukankah ia rumah kita? Bukankah ia identitas bangsa kita? Sembari tersenyum, Sang Ibu berkata, Anakku, Pancasila itu ada di sekeliling kita, Banyak manusia bisa melihat sekeliling dengan matanya, Tetapi mereka tak bisa melihat dengan hati nurani Ia ada di detak jantung buruh-buruh yan...