Skip to main content

Kedai Tjikini Bertabur Surat Kartini yang Dibacakan


Keramaian mewarnai Kedai Tjikini yang terletak di Jl Cikini No.17, Menteng, Jakarta, Rabu (1/5) kemarin. Itu dikarenakan, hampir semua ruangan terisi penuh oleh pengunjung yang kebanyakan adalah perempuan.
 
Memang, malam itu sedang digelar Rabu Perempuan, acara rutin dwi mingguan yang selalu digelar Komnas Perempuan. Dan, untuk acara Rabu Perempuan kali ini adalah pembacaan surat Kartini, tokoh penggerak perempuan Indonesia.

Pembacaan Surat Kartini bertajuk “Membaca Suratnya, Terbitlah Terang” merupakan hasil kerja sama dengan GIMS (Gerakan Indonesia Membaca Sastra).


Rabu Perempuan dilaksanakan sebagai cara untuk penggalangan dana bagi perempuan korban kekerasan. Pundi Perempuan juga mendanai lembaga-lembaga layanan untuk korban perempuan yang berada di daerah-dearah serta untuk gerakan pekerja kemanusiaan.

Seperti dilaporkan Evie Pertama Sari, salah satu pembaca surat Kartini, dalam ajang pembacaan surat Kartini tidak hanya dilakukan oleh aktivis perempuan, tetapi juga ada dari berbagai kalangan profesional. Bahkan, pelajar SMP juga tertarik membaca surat Kartini yang isinya sangat luuar biasa dan berharga untuk kemajuan berpikir perempuan Indonesia.

Sedikitnya ada 21 surat Kartini yang dibacakan dalam acara yang  berlangsung dari pukul 17.00-19.00 WIB. Surat-surat Kartini tersebut merupakan dokumen yang berhasil dikurasikan dengan baik oleh Mumu Aloha dari komunitas Kopdar Budaya.

Pembacaan surat Kartini ini untuk mengenang Kartini, bukan hanya bicara emansipasi atau yang sering dirayakan setiap tahunnya dengan berpakaian kebaya dan sanggul. Tetapi memahami Kartini harus membaca dan memaknai isi surat-suratnya.

Dengan membaca dan memahami surat-surat Kartini maka dapat memahami maksud dan konteksnya dimana Kartini hidup saat itu. Pembacaan surat ini juga merupakan cara yang baik untuk memaknai semangat perjuangan Kartini yang diperingati setiap 21 April.

“Surat-surat Kartini yang dibacakan antara lain tentang persoalan penentangan terhadap poligami, kekerasan atas nama agama, posisi perempuan dalam ruang publik, pendidikan bagi perempuan, kematian ibu dan anak, feodalisme dalam kebudayaan Jawa sampai semangat kebebasan sebagai manusia,” kata Evie kepada TNOL.

Surat Kartini yang pertama dibaca oleh Masita Riany. Surat yang berisi puisi "Jiwa" ini ditulis oleh Kartini pada tahun 1904. Sementara itu, Luviana, mantan jurnalis Metro TV membaca surat Kartini ke- 8 yang ditulis pada 1 November 1900 dengan sangat ekspresif sekali. Adapun Dini Adanurani, pelajar SMP kelas 3 membaca surat Kartini ke-13 yang dituliskan pada 18 Februari 1902.

“Saya sendiri membaca surat ke- 4 Kartini yang ditujukan untuk sahabatnya Stella,” jelas Evie semangat.
Evie menuturkan, dari 21 surat yang dibacakan ada satu surat yang dibaca oleh satu orang laki-laki yaitu Hartoyo dari Our Voice. Hartoyo, membaca surat Kartini ke-20 yang ditulis pada 1 Agustus 1903. Surat yang dibaca Hartoyo ini tidak boleh diterbitkan sebelumnya oleh Belanda.

Acara ditutup dengan wawancara imajiner kepada Kartini yang dibuat oleh Reda Gaudiamo. Wawancara imajiner ini dilakukan antara Valentina Sagala sebagai wartawan dan Harjuni Rochajati sebagai Kartini.(Sbh)

Sumber:  Kedai Tjikini Bertabur Surat Kartini yang Dibacakan

Comments

Popular posts from this blog

SALAM SASTRA, Komunitas KAMPOENG JERAMI Luncurkan Buku Kumpulan Puisi Berjudul “TITIK TEMU”

RBI, BENGKULU - Bertepatan dengan peringatan Hari Ham se-dunia ke-66 yang jatuh pada hari ini, Rabu, 10 Desember 2014 maka dengan resmi Komunitas Kampoeng Jerami meluncurkan buku kebanggaan mereka yang diberi judul “Titik Temu”. Setelah melalui berapa tahapan mulai dari pengumpulan naskah, lay out, dan editing antologi puisi yang berupaya merekam sem ua catatan kecintaan pada sesama ini akhirnya menyeruak di dunia sastra Indonesia.  Rasa Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa serta ucapan terima kasih kepada seluruh penulis, teman, kawan, guru, dan tangan-tangan yang memiliki kepedulian pada Komunitas Kampoeng Jerami dengan telah membantu segala proses, baik dari proses awal sampai akhirnya nanti buku ini mampu hadir di beberapa wilayah dan daerah sebagai pintu masuk dalam mengampanyekan untuk saling kasih dan sayang terhadap sesama, lingkungan, serta alam semesta yang menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap kebutuhan dasar sebagai manusia.

Titik Temu Hingga Tari Salsa di Sastra Reboan

“Asupan”, kata yang sering terdengar,dipakai untuk pentingnya gizi bagi manusia. Kata yang unik karena tak ditemukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dan adanya di kamus Bahasa Sunda.Asupan berasal dari kata “asup” yang artinya sama dengan “masuk”di KBBI. Asupan tak hanya untuk soal gizi, kita pun hidup dengan banyak mendapat asupan, entah itu dalam seni modern, komunikasi dan lainnya. Namun, kita juga mendapat asupan dari diri sendiri, dari para pemimpin yang sayangny a tidak memberikan gizi bagus. Tak usah bicara dunia politik yang makin semrawut, sastra pun masih jadi anak tiri, tak pernah disinggung oleh petinggi Negara. Sastra Reboan mencoba mengambil tema “Asupan” dengan harapan ada yang bisa masuk dalam relung kesadaran kita dari para pengisi acara nanti.

Monolog: Ibu, Dimanakah Pancasila?

Nasionalisme adalah modal bagi anak bangsa untuk mempertahankan kedaulatan  seluruh rakyat dengan pilar kearifan lokal yang menjadi tiang budaya bangsa sebagai penyaring budaya luar agar menjadi bangsa yang memiliki identitas dan berkepribadian. Telah dirumuskan Pancasila oleh para pendiri bangsa sebagai dasar dan pondasi negara, mencakup kemajemukan yang dilambangkan sebagai Bhinneka Tunggal Ika. Dimana arti perbedaan bukanlah celah untuk terpecah-belah, tetapi justru celah yang harus diisi oleh kesatuan paham dalam semangat Nasionalisme. Karena itu, mari kita tanyakan kepada Sang Ibu …..… Ibu, Dimanakah Pancasila? Seorang anak bertanya kepada ibunya, Ibu, dimanakah Pancasila? Bukankah ia rumah kita? Bukankah ia identitas bangsa kita? Sembari tersenyum, Sang Ibu berkata, Anakku, Pancasila itu ada di sekeliling kita, Banyak manusia bisa melihat sekeliling dengan matanya, Tetapi mereka tak bisa melihat dengan hati nurani Ia ada di detak jantung buruh-buruh yan...