JAKARTA, KOMPAS.com — Dalam pengertian fisika, momentum
adalah kecenderungan benda yang bergerak untuk melanjutkan gerakannya
pada kelajuan yang konstan. Momentum merupakan besaran vektor yang
searah dengan kecepatan benda. Dan momentum itulah yang menggerakkan
banyak pengunjung untuk hadir di acara Sastra Reboan, Rabu (26/2/2014),
di Warung Apresiasi, Bulungan, Jakarta Selatan.
Dalam contoh lain, seperti disampaikan salah satu penggemar puisi, Umi Widarti, yang sudah lama tak hadir dalam acara sastra. Ia merindukan kata-kata, bercengkerama dengan teman-teman, menyerap aura sastra yang ada di Sastra Reboan.
Momentum itu yang menyapa tiga jurnalis bertemu dalam wadah yang sama: membaca puisi. Mereka juga bertemu penyair lain, yang lama tak terlihat karena bermukim di Ternate. Bersama mereka naik panggung, membacakan puisinya. Pembaca puisi lainnya juga saling bertemu, karena terbelenggu kesibukan dan belum ada kebaikan hati dari waktu.
Hujan yang mengguyur Jakarta sore itu memang membuat Sastra Reboan, yang rutin digelar setiap Rabu di akhir bulan, dimulai terlambat. Beberapa penampil dan pengunjung sudah berdatangan menjelang maghrib.
Dimulai dengan penampilan Arwana, yang membawakan puisi Slamet Widodo dengan iringan musik, acara dibuka dengan bincang-bincang bersama Ketua Forum Sastra Bekasi (FSB), Budhi Setyawan. FSB ini berdiri 2011, dan rutin mengadakan diskusi bulanan, menerbitkan buletin “Jejak” dan sebuah antologi “Kepada Bekasi”. Beberapa anggotanya tampil membaca puisi karyanya sendiri.
Penyair asal Pondok Pesantren Mathali’ul Anwar, Sumenep, En Kurliadi, tampil pertama kalinya dari FSB, disusul Dian Mardiana, Fitrah Nugraha, Diana Prima Resmana, Sofyan, dan Alya Salaisha.
“Kami biasa berdiskusi, kadang ada penyair yang kami undang untuk menularkan pengetahuannya,” ujar Budhi Setyawan saat berbicara di panggung.
Di tengah penampilan anggota FSB itu, kelompok deKasyaf tampil membawakan dua musikalisasi puisi “Tak Kedua” dan “Syair cinta [Samudera Kehendak]”. Penampilan apik grup yang sudah menelorkan album “Rasaku Rahasiaku”, dan dibentuk pada pengujung tahun 2011 di Pesantren Akmaliah, Jakarta, ini mendapat sambutan hangat. Vokalisnya, Rivai Adi tampil kocak ketika ditanya oleh Setyo Bardono yang menjadi MC malam itu.
Malam makin menggeliat. Penampilan para penyair makin menghangat. Ada beberapa pengisi acara yang tidak bisa datang karena terhambat kemacetan. M Jumhur Hidayat, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), tidak datang, mungkin karena sibuk, meski sebelumnya mengatakan sudah menyiapkan beberapa puisi.
Frans Ekodhanto Purba yang telah meluncurkan buku puisinya Agustus 2013 lalu mengawali penampilan tiga jurnalis yang datang. Ia membawakan dua puisinya dengan jurus kungfu. Kemudian Iwan Setiawan, jurnalis yang membawakan puisi sosialnya dengan penampilan tak kalah memikat. Sudah tiga buku kumpulan puisi yang ditorehkan Iwan yang pendiri Forum Sastra Kedoya.
Menjelang deKasyaf tampil lagi membawakan lagu “Senja di Bukit Cinta” dan ” Senandung Mimpi”, penyair yang juga redaktur sebuah koran di Jakarta, Tulus Wijanarko, membawakan dua puisinya, “Undanganmu Penuh Lumpur (:untuk Franz)” dan “Cinta Dalam Sepotong Gotri”. Kemudian, penyair asal Ternate, Dino Umahuk, yang lama tak hadir di pentas Sastra Reboan membawakan dua puisinya yang sarat dengan masalah sosial.
Menyoal pembacaan puisinya, Tulus Wijanarko mengatakan, puisi “Cinta Dalam Sepotong Gotri” menemukan momentumnya yang tepat, yakni di Sastra Reboan yang mengusung tema “Belajar Mencintai”.
“Belajar Mencintai” Sastra Reboan rupanya telah menjadi momentum, dan menjadi pembawa pesan bagi para penggemar sastra. Seperti yang dikatakan Tulus Wijanarko seusai ia membacakan puisi, ”Ada beberapa pesan yg ingin tersampaikan ke komunitas-komunitas sastra: bisakah kita tetap mencintai dalam kondisi apa pun?”.
Belajar mencintai memang tak mudah, tapi setidaknya itu telah dicoba disajikan malam itu di panggung Sastra Reboan. (*)
Dalam contoh lain, seperti disampaikan salah satu penggemar puisi, Umi Widarti, yang sudah lama tak hadir dalam acara sastra. Ia merindukan kata-kata, bercengkerama dengan teman-teman, menyerap aura sastra yang ada di Sastra Reboan.
Momentum itu yang menyapa tiga jurnalis bertemu dalam wadah yang sama: membaca puisi. Mereka juga bertemu penyair lain, yang lama tak terlihat karena bermukim di Ternate. Bersama mereka naik panggung, membacakan puisinya. Pembaca puisi lainnya juga saling bertemu, karena terbelenggu kesibukan dan belum ada kebaikan hati dari waktu.
Hujan yang mengguyur Jakarta sore itu memang membuat Sastra Reboan, yang rutin digelar setiap Rabu di akhir bulan, dimulai terlambat. Beberapa penampil dan pengunjung sudah berdatangan menjelang maghrib.
Dimulai dengan penampilan Arwana, yang membawakan puisi Slamet Widodo dengan iringan musik, acara dibuka dengan bincang-bincang bersama Ketua Forum Sastra Bekasi (FSB), Budhi Setyawan. FSB ini berdiri 2011, dan rutin mengadakan diskusi bulanan, menerbitkan buletin “Jejak” dan sebuah antologi “Kepada Bekasi”. Beberapa anggotanya tampil membaca puisi karyanya sendiri.
Penyair asal Pondok Pesantren Mathali’ul Anwar, Sumenep, En Kurliadi, tampil pertama kalinya dari FSB, disusul Dian Mardiana, Fitrah Nugraha, Diana Prima Resmana, Sofyan, dan Alya Salaisha.
“Kami biasa berdiskusi, kadang ada penyair yang kami undang untuk menularkan pengetahuannya,” ujar Budhi Setyawan saat berbicara di panggung.
Di tengah penampilan anggota FSB itu, kelompok deKasyaf tampil membawakan dua musikalisasi puisi “Tak Kedua” dan “Syair cinta [Samudera Kehendak]”. Penampilan apik grup yang sudah menelorkan album “Rasaku Rahasiaku”, dan dibentuk pada pengujung tahun 2011 di Pesantren Akmaliah, Jakarta, ini mendapat sambutan hangat. Vokalisnya, Rivai Adi tampil kocak ketika ditanya oleh Setyo Bardono yang menjadi MC malam itu.
Malam makin menggeliat. Penampilan para penyair makin menghangat. Ada beberapa pengisi acara yang tidak bisa datang karena terhambat kemacetan. M Jumhur Hidayat, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), tidak datang, mungkin karena sibuk, meski sebelumnya mengatakan sudah menyiapkan beberapa puisi.
Frans Ekodhanto Purba yang telah meluncurkan buku puisinya Agustus 2013 lalu mengawali penampilan tiga jurnalis yang datang. Ia membawakan dua puisinya dengan jurus kungfu. Kemudian Iwan Setiawan, jurnalis yang membawakan puisi sosialnya dengan penampilan tak kalah memikat. Sudah tiga buku kumpulan puisi yang ditorehkan Iwan yang pendiri Forum Sastra Kedoya.
Menjelang deKasyaf tampil lagi membawakan lagu “Senja di Bukit Cinta” dan ” Senandung Mimpi”, penyair yang juga redaktur sebuah koran di Jakarta, Tulus Wijanarko, membawakan dua puisinya, “Undanganmu Penuh Lumpur (:untuk Franz)” dan “Cinta Dalam Sepotong Gotri”. Kemudian, penyair asal Ternate, Dino Umahuk, yang lama tak hadir di pentas Sastra Reboan membawakan dua puisinya yang sarat dengan masalah sosial.
Menyoal pembacaan puisinya, Tulus Wijanarko mengatakan, puisi “Cinta Dalam Sepotong Gotri” menemukan momentumnya yang tepat, yakni di Sastra Reboan yang mengusung tema “Belajar Mencintai”.
“Belajar Mencintai” Sastra Reboan rupanya telah menjadi momentum, dan menjadi pembawa pesan bagi para penggemar sastra. Seperti yang dikatakan Tulus Wijanarko seusai ia membacakan puisi, ”Ada beberapa pesan yg ingin tersampaikan ke komunitas-komunitas sastra: bisakah kita tetap mencintai dalam kondisi apa pun?”.
Belajar mencintai memang tak mudah, tapi setidaknya itu telah dicoba disajikan malam itu di panggung Sastra Reboan. (*)
Penulis | : Jodhi Yudono | |||||
Editor | : Jodhi Yudono |
Comments
Post a Comment