Skip to main content

Mengenal Sejarah Kebaya


Sepintas Mengenal Sejarah kebaya dan Tentang Kebaya

Berdasarkan beberapa filosofi yang telah kami ambil dari beberapa pendapat tentang sejarah kebaya. Kebaya merupakan jenis busana yang dipakai oleh kalangan wanita Jawa, khususnya di lingkungan budaya Yogyakarta dan Surakarta, Jawa Tengah. Biasanya disertai kemben dan kain tapih pinjung dengan stagen. Baju kebaya dikenakan oleh kalangan wanita bangsawan maupun kalangan rakyat biasa baik sebagai busana sehari-hari maupun pakaian upacara.

Pada busana upacara seperti yang dipakai oleh seorang garwo dalem misalnya, baju kebaya menggunakan peniti renteng dipadukan dengan kain sinjang atau jarik corak batik, bagian kepala rambutnya digelung (sanggul), dan dilengkapi dengan perhiasan yang dipakai seperti subang, cincin, kalung dan gelang serta kipas biasanya tidak ketinggalan. 

Untuk busana sehari-hari umumnya wanita Jawa cukup memakai kemben yang dipadukan dengan stagen dan kain jarik. Kemben dipakai untuk menutupi payudara, ketiak dan punggung, sebab kain kemben ini cukup lebar dan panjang. Sedangkan stagen dililitkan pada bagian perut untuk mengikat tapihan pinjung agar kuat dan tidak mudah lepas.


Untuk mengenal sejarah kebaya, maka kita mulai dari penjelasan mengenai baju kebaya. Baju kebaya sendiri adalah pakaian tradisional yang dikenakan oleh wanita Indonesia dan Malaysia yang dibuat dari kain kasa yang dikenakan dengan sarung, batik, atau pakaian tradisional yang lain seperti songket dengan motif warna-warni. Asal kata kebaya berasal dari kata arab abaya yang berarti pakaian. Dipercaya kebaya berasal dari Tiongkok ratusan tahun yang lalu. Lalu menyebar ke Malaka, Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi. Setelah akulturasi yang berlangsung ratusan tahun, pakaian itu diterima di budaya dan norma setempat (http://ms.wikipedia.org/wiki/Baju_kebaya, diakses Rabu, 26 September 2012). Sebelum 1600, di Pulau Jawa, kebaya adalah pakaian yang hanya dikenakan keluarga kerajaan di sana. Selama masa kendali Belanda di pulau itu, wanita-wanita Eropa mulai mengenakan kebaya sebagai pakaian resmi. Selama masa ini, kebaya diubah dari hanya menggunakan barang tenunan mori menggunakan sutera dengan sulaman warna-warni.

Mengenal sejarah kebaya yang berasal dari kota JawaTengah

Sebagian banyak mereka berpendapat bahwa kebaya merupakan busana tradisional yang umumnya telah dikenal di seluruh Indonesia, namun kebaya lebih identik dipakai oleh wanita-wanita Jawa. Model dan jenis kebaya nya pun berbeda disetiap daerah yang tersebar diseluruh wilayah Jawa. Jawa Tengah memiliki model kebaya tersendiri, kebaya yang biasa dipakai wanita jawa tengah biasanya model kebaya Solo/ Surakarta. Solo merupakan daerah yang dikenal sebagai wilayah keraton dan kerajaan yang masih kental dengan nuansa-nuansa kerajaan. Kebaya khas jawa tengah pada umumnya adalah kebaya yang terbuat dari kain beludru hitam, brokat, atau nilon. 

Dewasa ini, baju kebaya panjang merupakan pakaian untuk upacara perkawinan. Kebaya panjang kebanyakan terbuat dari kain beludru hitam atau merah tua, yang dihiasi pita emas di tepi pinggiran baju. Kain jarik batik yang berlipat (wiron) tetap diperlukan untuk pakaian ini, tetapi biasanya tanpa memakai selendang. Sanggulnya dihiasi dengan untaian bunga melati dan tusuk konde dari emas. Sedangkan, perhiasan yang dipakai juga sederhana, yaitu sebuah sisir berbentuk hampir setengah lingkaran yang dipakai di sebelah depan pusat kepala. Baju kebaya panjang yang dipakai sebagai busana upacara biasa, maka tata rias rambutnya tanpa untaian bunga melati dan tusuk konde.

Jika kita menjelaskan untuk mengenal sejarah kebaya, untuk kebaya model R.A Kartini juga termasuk dalam kebaya khas Jawa Tengah. Kebaya R.A Kartini ini merupakan kebaya yang masih sangat menganut adat-istiadat orang Jawa. Kebayanya dibuat dari berbagai jenis bahan katun, baik yang polos satu warna seperti merah, putih, kuning, hijau, biru dan sebagainya maupun bahan katun atau brokat yang berbunga atau bersulam, menggunakan stagen sebagai ikat pinggang. Kalangan wanita di Jawa, biasanya baju kebaya mereka diberi tambahan bahan berbentuk persegi panjang di .bagian depan yang berfungsi sebagai penyambung (kuthubaru).

Filosofi Kebaya

Bagi seorang wanita Jawa, kebaya bukan hanya sebagai sebatas pakaian. Lebih dari itu kebaya juga menyimpan sebuah filosofi tersendiri. Sebuah filosofi yang mengandung nilai-nilai kehidupan. Keberadaan kebaya di Indonesia bukan hanya sebagai menjadi salah satu jenis pakaian. Kebaya memiliki makna dan fungsi lebih dari itu. Bentuknya yang sederhana bisa dikatakan sebagai wujud kesederhaan dari masyarakat Indonesia. Nilai filosofi dari kebaya adalah kepatuhan, kehalusan, dan tindak tanduk wanita yang harus serba lembut. Kebaya selalu identik dipasangkan dengan jarik atau kain yang membebat tubuh. Kain yang membebat tubuh tersebut secara langsung akan membuat siapapun wanita yang mengenakannya kesulitan untuk bergerak dengan cepat. Itulah sebabnya mengapa wanita Jawa selalu identik dengan pribadi yang lemah gemulai.

Menggenakan kebaya akan membuat wanita yang mengenakannya berubah menjadi seorang wanita yang anggun dan mempunyai kepribadian. Potongan kebaya yang mengikuti bentuk tubuh mau tidak mau akan membuat wanita tersebut harus bisa menyesuaikan dan menjaga diri. Setagen  yang berfungsi sebagai ikat pinggang, bentuknya tak ubah seperti kain panjang yang berfungsi sebagai ikat pinggang. Namun justru dari bentuknya yang panjang itulah nilai-nilai filosofi luhur ditanamkan, merupakan symbol agar bersabar/jadilah manusia yang sabar, erat kaitannya dengan peribahasa jawa “dowo ususe” atau panjang ususnya yang berarti sabar.

Nah, semoga artikel kami yang berjudul " Mengenal Sejarah Kebaya " dapat bermanfaat untuk anda semua,ya. 

Comments

Popular posts from this blog

Titik Temu Hingga Tari Salsa di Sastra Reboan

“Asupan”, kata yang sering terdengar,dipakai untuk pentingnya gizi bagi manusia. Kata yang unik karena tak ditemukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dan adanya di kamus Bahasa Sunda.Asupan berasal dari kata “asup” yang artinya sama dengan “masuk”di KBBI. Asupan tak hanya untuk soal gizi, kita pun hidup dengan banyak mendapat asupan, entah itu dalam seni modern, komunikasi dan lainnya. Namun, kita juga mendapat asupan dari diri sendiri, dari para pemimpin yang sayangny a tidak memberikan gizi bagus. Tak usah bicara dunia politik yang makin semrawut, sastra pun masih jadi anak tiri, tak pernah disinggung oleh petinggi Negara. Sastra Reboan mencoba mengambil tema “Asupan” dengan harapan ada yang bisa masuk dalam relung kesadaran kita dari para pengisi acara nanti.

SALAM SASTRA, Komunitas KAMPOENG JERAMI Luncurkan Buku Kumpulan Puisi Berjudul “TITIK TEMU”

RBI, BENGKULU - Bertepatan dengan peringatan Hari Ham se-dunia ke-66 yang jatuh pada hari ini, Rabu, 10 Desember 2014 maka dengan resmi Komunitas Kampoeng Jerami meluncurkan buku kebanggaan mereka yang diberi judul “Titik Temu”. Setelah melalui berapa tahapan mulai dari pengumpulan naskah, lay out, dan editing antologi puisi yang berupaya merekam sem ua catatan kecintaan pada sesama ini akhirnya menyeruak di dunia sastra Indonesia.  Rasa Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa serta ucapan terima kasih kepada seluruh penulis, teman, kawan, guru, dan tangan-tangan yang memiliki kepedulian pada Komunitas Kampoeng Jerami dengan telah membantu segala proses, baik dari proses awal sampai akhirnya nanti buku ini mampu hadir di beberapa wilayah dan daerah sebagai pintu masuk dalam mengampanyekan untuk saling kasih dan sayang terhadap sesama, lingkungan, serta alam semesta yang menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap kebutuhan dasar sebagai manusia.

Peluncuran Buku Amarah Lembaga Bhinneka

Kabar Budaya – RetakanKata Kekerasan dan penindasan minoritas yang berbuntut pada pelanggaran HAM di Indonesia telah menjadi berita renyah yang setiap hari disajikan bagi masyarakat Indonesia. Mau tidak mau, kita menelan sajian itu ketika peran aparat negara dalam menyikapi masalah tersebut cenderung semakin menurun. Rakyat marah namun sulit bertindak. Rakyat menderita di negeri yang katanya kaya. Rakyat pun hilang percaya, terutama kepada pelaku pemerintahan yang korup dan abai perannya. Bagaimana kami bersuara? Perbedaan pendapat dan keyakinan dalam memperjuangkan HAM yang seharusnya adalah dinamika di era Pasca Kemerdekaan sering mendapat tekanan, bahkan pembungkaman. Anda terjebak, sulit bernapas dan semakin sulit bernapas ketika pihak yang berwenang semakin abai dalam menyelesaikan persoalan ini, sementara pihak lain berpesta di atas penderitaan rakyat (minoritas). Antologi puisi & cerpen AMARAH hadir di tengah carut-marut bangsa Indonesia dalam...