Skip to main content

Sastra Reboan, “Dalam Catatan” Yang Tak Sekedar Catatan

OLEH: YO SUGIANTO, Pengelola Sastra Reboan |
DALAM puisi “Kesaksian” yang dilagukan oleh Kantata Takwa dengan indahnya, WS Rendra mencatat gejala jaman saat itu dengan mata hari kepenyairannya. Catatan yang tetap relevan dengan kondisi saat ini, dan juga tetap penting untuk terus dibaca. Untuk mengingatkan kita, bahwa penyair selalu mencatat jamannya. (Agenda Acaranya bisa disimak di sini: Reboan Kali Ini Hadirkan “Dalam Catatan”)
Berbagai peristiwa yang dicatat, yang tertuang dalam catatan, dengan memperdengarkan pertanda-pertanda, menunjukkan arah bagi perbaikan dan pencerahan. Di sinilah kesaksian menjadi bermakna, karena ia tak sekedar catatan tapi peringatan bagi siapa saja, termasuk Presiden, anggota DPR dan DPRD yang makin kekanakan, lembaga peradilan yang makin disoroti, pengusaha yang membabat hutan atau tambang, serta diri penyair itu sendiri.
Seperti, mengutip larik “Sajak Sebatang Lisong” karya Rendra : ”Apalah artinya renda-renda kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apalah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan. Kepadamu aku bertanya..?”
Dalam catatan di Maret 2015 ini kita bisa membaca banyak momen yang diperingati sebagai hari-hari penting, namun dibiarkan berlalu begitu saja, seolah itu catatan belaka. Hari Kehakiman dan Serangan Umum 1 Maret seperti semilir angin saja. Padahal kita melihat bagaimana lembaga peradilan mempertontonkan kekuasaannya secara angkuh. Hakim Sarpin mengeluarkan keputusan yang membuat masyarakat terhenyak.
Di Maret pula ada Hari Musik ((9 Maret) dan Hari Film Nasional (30 Maret), dan kita melihat bagaimana music bagi anak-anak tenggelam tanpa ada kepedulian dari pemerintah. Film, kita hanya bisa menghela nafas saat menyaksikan tayangan televisi yang menyajikan hasil instan, penggunaan kosa kata semaunya, dan pameran kekayaan.
Sastra Reboan di edisi Maret 2015 ini menampilkan para penyair yang mencoba memberikan kesaksiannya lewat dalam puisi-puisiya dalam buku “Memo Untuk Presiden’ (MUP). Sebanyak 196 penyair terhimpun di buku ini. “Ada kritik,usulan, kasih saying dan himbauan untuk Presiden,” ujar Dyah Kencono , koordinator peluncuran dan diskusi buku itu yang diadakan 25 Maret 2015 di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat.
Diskusi yang juga akan ditampilkan di Sastra Reboan akan menghadirkan Sosiawan Leak, Syarifudin Arifin dan Nanang Farid Syam (KPK). Sedangkan beberapa penyair yang puisinya termuat di buku itu juga akan tampil, yang tak hanya berasal dari Jakarta tapi berbagai daerah seperti Riau, Magelang, Tangerang, Indramayu, Bekasi dan daerah lainnya.
Di tengah acara MUP itu, musik pun tak ketinggalan hadir. Kali ini ada empat grup dihadirkan, dua di antaranya melakukan kolaborasi yang pertama kalinya yakni deKasyaf dan 4Weekend yang sudah tak asing bagi pengunjung Reboan. “Ya ini kolaborasi pertama kalinya, sangat menantang,”ujar Rivai Adi, vokalis deKasyaf menjelang latihan terakhir dengan 4Weekend.
Dua grup lainnya adalah JOY-AR yang dibentuk pada 2012 yang mencoba menuangkan sebuah konsep sederhana yang diekspresikan dalam bermusik dan mencipta. Mengusung Modern Rock, JOY-AR mencoba untuk merambah industri musik, dan menjadi salah satu band yang memiliki karakter berbeda.
Grup lainnya adalah Pandai Api, yang meski baru dbentuk di akhir 2014 namun sudah melahirkan lagu karya sendiri. Grup ini tergabung dalam di Sebumi (Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia).

Selain para penyair dari berbagai daerah, juga tampil Lily Siti Multatuliana SutanIskandar, penulis asal Jakarta yang berdiam di Melaka, Malaysia. (gie)
Banyak orang hilang nafkahnya
Aku bernyanyi menjadi saksi
Banyak orang dirampas haknya
Aku bernyanyi menjadi saksi

Mereka dihinakan,tanpa daya
Yaaa…tanpa daya! terbiasa hidup sangsi

Orang-orang harus dibangunkan
Kenyataan harus dikabarkan
Aku bernyanyi menjadi saksi

(Kesaksian, karya Rendra)
- See more at: http://infosastra.com/2015/03/25/sastra-reboan-dalam-catatan-yang-tak-sekedar-catatan/#sthash.apXWy3bU.dpuf
OLEH: YO SUGIANTO, Pengelola Sastra Reboan

DALAM puisi “Kesaksian” yang dilagukan oleh Kantata Takwa dengan indahnya, WS Rendra mencatat gejala jaman saat itu dengan mata hari kepenyairannya. Catatan yang tetap relevan dengan kondisi saat ini, dan juga tetap penting untuk terus dibaca. Untuk mengingatkan kita, bahwa penyair selalu mencatat jamannya. (Agenda Acaranya bisa disimak di sini: Reboan Kali Ini Hadirkan “Dalam Catatan”)

Berbagai peristiwa yang dicatat, yang tertuang dalam catatan, dengan memperdengarkan pertanda-pertanda, menunjukkan arah bagi perbaikan dan pencerahan. Di sinilah kesaksian menjadi bermakna, karena ia tak sekedar catatan tapi peringatan bagi siapa saja, termasuk Presiden, anggota DPR dan DPRD yang makin kekanakan, lembaga peradilan yang makin disoroti, pengusaha yang membabat hutan atau tambang, serta diri penyair itu sendiri.

Seperti, mengutip larik “Sajak Sebatang Lisong” karya Rendra : ”Apalah artinya renda-renda kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apalah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan. Kepadamu aku bertanya..?”

Dalam catatan di Maret 2015 ini kita bisa membaca banyak momen yang diperingati sebagai hari-hari penting, namun dibiarkan berlalu begitu saja, seolah itu catatan belaka. Hari Kehakiman dan Serangan Umum 1 Maret seperti semilir angin saja. Padahal kita melihat bagaimana lembaga peradilan mempertontonkan kekuasaannya secara angkuh. Hakim Sarpin mengeluarkan keputusan yang membuat masyarakat terhenyak.

Di Maret pula ada Hari Musik ((9 Maret) dan Hari Film Nasional (30 Maret), dan kita melihat bagaimana music bagi anak-anak tenggelam tanpa ada kepedulian dari pemerintah. Film, kita hanya bisa menghela nafas saat menyaksikan tayangan televisi yang menyajikan hasil instan, penggunaan kosa kata semaunya, dan pameran kekayaan.

Sastra Reboan di edisi Maret 2015 ini menampilkan para penyair yang mencoba memberikan kesaksiannya lewat dalam puisi-puisiya dalam buku “Memo Untuk Presiden’ (MUP). Sebanyak 196 penyair terhimpun di buku ini. “Ada kritik,usulan, kasih saying dan himbauan untuk Presiden,” ujar Dyah Kencono , koordinator peluncuran dan diskusi buku itu yang diadakan 25 Maret 2015 di Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat.

Diskusi yang juga akan ditampilkan di Sastra Reboan akan menghadirkan Sosiawan Leak, Syarifudin Arifin dan Nanang Farid Syam (KPK). Sedangkan beberapa penyair yang puisinya termuat di buku itu juga akan tampil, yang tak hanya berasal dari Jakarta tapi berbagai daerah seperti Riau, Magelang, Tangerang, Indramayu, Bekasi dan daerah lainnya.

Di tengah acara MUP itu, musik pun tak ketinggalan hadir. Kali ini ada empat grup dihadirkan, dua di antaranya melakukan kolaborasi yang pertama kalinya yakni deKasyaf dan 4Weekend yang sudah tak asing bagi pengunjung Reboan. “Ya ini kolaborasi pertama kalinya, sangat menantang,”ujar Rivai Adi, vokalis deKasyaf menjelang latihan terakhir dengan 4Weekend.

Dua grup lainnya adalah JOY-AR yang dibentuk pada 2012 yang mencoba menuangkan sebuah konsep sederhana yang diekspresikan dalam bermusik dan mencipta. Mengusung Modern Rock, JOY-AR mencoba untuk merambah industri musik, dan menjadi salah satu band yang memiliki karakter berbeda.

Grup lainnya adalah Pandai Api, yang meski baru dbentuk di akhir 2014 namun sudah melahirkan lagu karya sendiri. Grup ini tergabung dalam di Sebumi (Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia).

Selain para penyair dari berbagai daerah, juga tampil Lily Siti Multatuliana SutanIskandar, penulis asal Jakarta yang berdiam di Melaka, Malaysia. (gie)

Banyak orang hilang nafkahnya
Aku bernyanyi menjadi saksi
Banyak orang dirampas haknya
Aku bernyanyi menjadi saksi
Mereka dihinakan,tanpa daya
Yaaa…tanpa daya! terbiasa hidup sangsi
Orang-orang harus dibangunkan
Kenyataan harus dikabarkan
Aku bernyanyi menjadi saksi
(Kesaksian, karya Rendra)

Comments

Popular posts from this blog

Titik Temu Hingga Tari Salsa di Sastra Reboan

“Asupan”, kata yang sering terdengar,dipakai untuk pentingnya gizi bagi manusia. Kata yang unik karena tak ditemukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dan adanya di kamus Bahasa Sunda.Asupan berasal dari kata “asup” yang artinya sama dengan “masuk”di KBBI. Asupan tak hanya untuk soal gizi, kita pun hidup dengan banyak mendapat asupan, entah itu dalam seni modern, komunikasi dan lainnya. Namun, kita juga mendapat asupan dari diri sendiri, dari para pemimpin yang sayangny a tidak memberikan gizi bagus. Tak usah bicara dunia politik yang makin semrawut, sastra pun masih jadi anak tiri, tak pernah disinggung oleh petinggi Negara. Sastra Reboan mencoba mengambil tema “Asupan” dengan harapan ada yang bisa masuk dalam relung kesadaran kita dari para pengisi acara nanti.

SALAM SASTRA, Komunitas KAMPOENG JERAMI Luncurkan Buku Kumpulan Puisi Berjudul “TITIK TEMU”

RBI, BENGKULU - Bertepatan dengan peringatan Hari Ham se-dunia ke-66 yang jatuh pada hari ini, Rabu, 10 Desember 2014 maka dengan resmi Komunitas Kampoeng Jerami meluncurkan buku kebanggaan mereka yang diberi judul “Titik Temu”. Setelah melalui berapa tahapan mulai dari pengumpulan naskah, lay out, dan editing antologi puisi yang berupaya merekam sem ua catatan kecintaan pada sesama ini akhirnya menyeruak di dunia sastra Indonesia.  Rasa Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa serta ucapan terima kasih kepada seluruh penulis, teman, kawan, guru, dan tangan-tangan yang memiliki kepedulian pada Komunitas Kampoeng Jerami dengan telah membantu segala proses, baik dari proses awal sampai akhirnya nanti buku ini mampu hadir di beberapa wilayah dan daerah sebagai pintu masuk dalam mengampanyekan untuk saling kasih dan sayang terhadap sesama, lingkungan, serta alam semesta yang menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap kebutuhan dasar sebagai manusia.

Peluncuran Buku Amarah Lembaga Bhinneka

Kabar Budaya – RetakanKata Kekerasan dan penindasan minoritas yang berbuntut pada pelanggaran HAM di Indonesia telah menjadi berita renyah yang setiap hari disajikan bagi masyarakat Indonesia. Mau tidak mau, kita menelan sajian itu ketika peran aparat negara dalam menyikapi masalah tersebut cenderung semakin menurun. Rakyat marah namun sulit bertindak. Rakyat menderita di negeri yang katanya kaya. Rakyat pun hilang percaya, terutama kepada pelaku pemerintahan yang korup dan abai perannya. Bagaimana kami bersuara? Perbedaan pendapat dan keyakinan dalam memperjuangkan HAM yang seharusnya adalah dinamika di era Pasca Kemerdekaan sering mendapat tekanan, bahkan pembungkaman. Anda terjebak, sulit bernapas dan semakin sulit bernapas ketika pihak yang berwenang semakin abai dalam menyelesaikan persoalan ini, sementara pihak lain berpesta di atas penderitaan rakyat (minoritas). Antologi puisi & cerpen AMARAH hadir di tengah carut-marut bangsa Indonesia dalam...