Skip to main content

Sastra Reboan Semoga Bermanfaat Bagi Kehidupan


Selamat ulang tahun Sastra Reboan,
semoga awet, semoga bermanfaat bagi kehidupan”.
 
Kalimat itu dilantunkan dalam irama nyanyian oleh Jodhi Yudono, pemusik dan penggubah lagu sebelum tampil di penghujung Sastra Reboan, Rabu (29/4/2015) malam di Warung Apresiasi (Wapres), Bulungan, Jakarta Selatan.

Larik yang sederhana tapi begitu berat dilakoni oleh sebuah komunitas sastra. Komunitas yang dibentuk dan dijalankan dari kecintaan terhadap sastra, dan mampu (jika bisa dikategorikan awet) bertahan selama 7 (tujuh) tahun.Tanpa ada sponsor, hanya dari patungan para penggiatnya dan yang peduli seperti Slamet Widodo yang beberapa tahun ini jadi Pembina.

Malam itu, yang cukup diberkati dengan jalanan yang tidak macet dan cuaca bersahabat, Sastra Reboan berulangtahun ke tujuh. Dirayakan dengan sederhana lewat pembacaan puisi, diskusi pendek, musik dan tarian. Jika ada yang beda hanya pada sambutan singkat dari Yo Sugianto yang menggagas dan saat ini jadi “mandor” Sastra Reboan, serta tiup lilin pada kue oleh Slamet Widodo bersama Ilenk Rembulan, Dedy Tri Riyadi dan Zay Lawanglangit (sebagian pendiri yang sempat hadir malam itu). Nuruddin Asyhadie yang di awal berdirinya Sastra Reboan juga turut ke panggung bersama Saut Situmorang.

Acara yang mengambil tajuk “Tujuh” itu dibuka duo MachoMarche yakni Duta dan Asterina yang memainkan gitar akustiknya. Dua lagu “Buaian Dansa” dan “Senja dan Matahari” ditampilkan,yang menjadi awalan gawe malam itu. Pengunjung, kata sebagian orang disebut Reboaner, mulai memadati sudut ruangan Wapres, ditingkahi obrolan dan diskusi kecil. Suara-suara yang tak bisa dihindari di tengah performance di panggung,yang mestinya bisa berkurang “volumenya” sebagai bentuk apresiasi terhadap para penampil.

Penulis puisi yang juga perupa, Andreas Iswinarto kemudian tampil membacakan dua puisinya “Air Mata Api’dan “Api dan Air”. Ini merupakan penampilan pertama di Sastra Reboan bagi Andreas, yang sedari remaja menggenggam mimpi menjadi penyair dan menerbitkan buku. Mimpi yang mesti diraih, seperti halnya beberapa penulis puisi lainnya yang pernah tampil dengan mimpi serupa.

Untuk yang pertama kali pun juga dialami oleh Riri Satria, pengusaha yang suka menulis, yang datang bersama isterinya. Ia menikmati sajian dari awal hingga akhir acara. “Selama ini saya hanya mengikuti berita dan fofo-foto yang ada di facebook. Senang bisa hadir, tepat di ulang tahun Sastra Reboan ketujuh ini,’ujar Riri.

Acara yang menampilkan trio mc, Masita Riany, Ira Soeginda dan Agus Kuburan makin memanas saat Sanggar Svadara menyajikan medley tarian tradisional dengan manisnya. “Jejer Jaran Dawuh” (Banyuwangi), Tari Piring (Minang) dan Zapin Merindu (Banjarmasin) mampu memukau penonton. Komunitas para penari kampus ini pada 9-18 Agustus 2015 mendatang akan mewakili Indonesia mengikuti Sabah International Folklore Festival di Kinibalu, Sabah, Malaysia.

Diskusi yang hadir setelah tarian menawan itu adalah kumpulan puisi “Parinseja” karya Steve Elu, penyair muda asal Nusa Tenggara Timur yang saat ini bekerja sebagai jurnalis sebuah majalah di Jakarta. Sebelum dimulai, Josephine Maria dan Jack Aria, duo yang lama tak terlihat, tampil membawakan puisi Steve Elu yang bertajuk “Dari Titik Nol”. Sebagai pembahas adalah Berto Tukan, penulis puisi yang kini mahasiswa S-2 STF Driyakara.

Ia mengemukakan, puisi-puisi Steve kental dengan kedaerahan dan kekatolikan, meski ia sekian tahun berdiam di ibukota. Hal ini juga diakui oleh Steve yang banyak terpengaruh oleh penyair “celana”, Joko Pinurbo dalam proses kepenyairannya. Usai diskusi, Steve juga didaulat membacakan puisinya, dan ia pun memilih "Parinseja".

Usai diskusi, Idaman Andarmasoko tampil. Ia penyair kawakan, dan sudah dua kali tampil di Sastra Reboan. “Tak terasa, terakhir mengisi panggung ini lima tahun lalu, dan Reboan tetap ada,” ujarnya sesaat sebelum naik panggung. Sedangkan Lingga, yang baru pertama kali tampil di Reboan membawakan “Sebatang Lisong”, salah satu karya Rendra yang ternama.

Instrumentalia lagu kesohor “Scarborough Fair” dari Simon & Garfunkel menjadi sajian menarik lainnya, yang dibawakan oleh Gyan (sitar, asal Slovakia), Yogi (jimbe, India), Adang (Gitar) dan Branjangan (gitar). Mereka juga melanjutkan penampilannya, kali ini dengan Feryna Setyowati yang menyanyikan “In Your Eyes” dari Peter Gabriel, mantan vokalis Genesis. Athika tampil pula dengan tariannya yang cukup menggoda. “Tombo ngantuk,”celetuk beberapa pengunjung.

Tak hanya kolaborasi itu saja yang mengundang perhatian, Simo pun mampu menyihir pengunjung dengan gesekan biolanya. Lelaki tampan asal Spanyol yang menjadi guru musik di Jakarta International School (JIS) Jakarta ini tampil bersama Alif yang memainkan gitar akustik. Keduanya bermain kompak membawakan tiga lagu secara instrumentalia, antara lain karya Paco de Lucia. Irama gypsi pun hadir dan mengalir dengan sambutan meriah.

Usai turun dari panggung, Simo menyatakan kegembiraannya bisa turut ambil bagian di Sastra Reboan.”Thanks a lot for organizing such a wonderful event and let people play music also,” ujar Simo yang akan senang jika diundang kembali.
Bincang sastra yang dinanti pengunjung lalu dihadirkan, menampilkan sastrawan Saut Situmorang yang dipandu oleh Dedy Tri Riyadi dan Zay Lawanglangit. Dengan penampilannya yang tak berubah seperti saat dua kali pernah di Sastra Reboan, Saut yang dikenal sebagai penentang keras Denny J.A, pemilik Lembaga Survei Indonesia yang mendadak dinobatkan sebagai sastrawan berpengaruh, tampil dengan santai menjawab pertanyaan Dedy dan Zay.

“Komunitas sastra itu sangat penting keberadaannya. Di dalamnya perlu ada diskusi yang mengangkat isyu penting seperti puisi esai. Bagaimana tukang survey jadi tokoh sastra,” ujar lelaki berambut gimbal yang panjang itu, disambut gelak tawa pengunjung.

Malam makin menepi, dan Jodhi Yudono mengakhirinya dengan emppat nyanyian puisi, ‘Derai-Derai Cemara” (Chairil Anwar), "Yang Terputus dan Yang Terempas" (Chairil Anwar), “Testimoni” (Darmanto Jatman) dan “Setitik Nokhtah” (Jodhi Yudono).

Jodhi tampil prima, dan selalu mengundang applause di setiap nyanyian yang ia bawakan, yang ditingkahi dengan gitar oleh Oni dan vokal Violi Kasherman. Malam itu juga lebih memberi warna dengan hadirnya Heri Gaos, pelukis yang mencoba menuangkan apa yang tersirat dari nyanyian puisi yang tersaji. Hasilnya adalah lukisan yang sekilas adalah sosok wanita, ditingkahi sapuan warna hitam, biru dan kuning di kanvas. Warna-warna yang seperti mewakili kegelisahan dan harapan pada lirik puisi.

Harapan yang juga diberikan bagi Sastra Reboan untuk tetap awet dan memberi manfaat bagi kehidupan. Harapan yang juga disandang semua pecinta sastra untuk memberi arti bagi kehidupan. (gie/jy)

Comments

Popular posts from this blog

Titik Temu Hingga Tari Salsa di Sastra Reboan

“Asupan”, kata yang sering terdengar,dipakai untuk pentingnya gizi bagi manusia. Kata yang unik karena tak ditemukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dan adanya di kamus Bahasa Sunda.Asupan berasal dari kata “asup” yang artinya sama dengan “masuk”di KBBI. Asupan tak hanya untuk soal gizi, kita pun hidup dengan banyak mendapat asupan, entah itu dalam seni modern, komunikasi dan lainnya. Namun, kita juga mendapat asupan dari diri sendiri, dari para pemimpin yang sayangny a tidak memberikan gizi bagus. Tak usah bicara dunia politik yang makin semrawut, sastra pun masih jadi anak tiri, tak pernah disinggung oleh petinggi Negara. Sastra Reboan mencoba mengambil tema “Asupan” dengan harapan ada yang bisa masuk dalam relung kesadaran kita dari para pengisi acara nanti.

SALAM SASTRA, Komunitas KAMPOENG JERAMI Luncurkan Buku Kumpulan Puisi Berjudul “TITIK TEMU”

RBI, BENGKULU - Bertepatan dengan peringatan Hari Ham se-dunia ke-66 yang jatuh pada hari ini, Rabu, 10 Desember 2014 maka dengan resmi Komunitas Kampoeng Jerami meluncurkan buku kebanggaan mereka yang diberi judul “Titik Temu”. Setelah melalui berapa tahapan mulai dari pengumpulan naskah, lay out, dan editing antologi puisi yang berupaya merekam sem ua catatan kecintaan pada sesama ini akhirnya menyeruak di dunia sastra Indonesia.  Rasa Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa serta ucapan terima kasih kepada seluruh penulis, teman, kawan, guru, dan tangan-tangan yang memiliki kepedulian pada Komunitas Kampoeng Jerami dengan telah membantu segala proses, baik dari proses awal sampai akhirnya nanti buku ini mampu hadir di beberapa wilayah dan daerah sebagai pintu masuk dalam mengampanyekan untuk saling kasih dan sayang terhadap sesama, lingkungan, serta alam semesta yang menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap kebutuhan dasar sebagai manusia.

Peluncuran Buku Amarah Lembaga Bhinneka

Kabar Budaya – RetakanKata Kekerasan dan penindasan minoritas yang berbuntut pada pelanggaran HAM di Indonesia telah menjadi berita renyah yang setiap hari disajikan bagi masyarakat Indonesia. Mau tidak mau, kita menelan sajian itu ketika peran aparat negara dalam menyikapi masalah tersebut cenderung semakin menurun. Rakyat marah namun sulit bertindak. Rakyat menderita di negeri yang katanya kaya. Rakyat pun hilang percaya, terutama kepada pelaku pemerintahan yang korup dan abai perannya. Bagaimana kami bersuara? Perbedaan pendapat dan keyakinan dalam memperjuangkan HAM yang seharusnya adalah dinamika di era Pasca Kemerdekaan sering mendapat tekanan, bahkan pembungkaman. Anda terjebak, sulit bernapas dan semakin sulit bernapas ketika pihak yang berwenang semakin abai dalam menyelesaikan persoalan ini, sementara pihak lain berpesta di atas penderitaan rakyat (minoritas). Antologi puisi & cerpen AMARAH hadir di tengah carut-marut bangsa Indonesia dalam...