Skip to main content

Apa Korelasi Puisi dan Politisi? Ini Jawabannya!

Sastra, lewat karya para penyair, telah membuktikan bahwa puisi bisa berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan gagasan-gagasan politik seseorang, juga reaksi saat melihat suatu akibat dari kebijakan poltik. Begitu pula bisa kita baca pada cerita pendek atau novel. Pandangan  sang penulis tentang  apa yang dilihat dan atau dialaminya pada kehidupan bermasyarakat, tempatnya berpijak.

Para pelaku politisi, para politisi pun, yang akrab dengan puisi atau karya sastra cenderung mempunyai kepekaan terhadap rakyatnya, mereka yang diwakilinya. Mereka yang suka sastra, apalagi juga menulis, biasanya akan bersikap jujur terhadap rakyatnya.
Pentingnya puisi itu bahkan disampaikan oleh seorang senator muda Amerika Serikat, saat berpidato di depan para anggota perkumpulan alumni Harvard, di Cambridge, Massachusetts, 14 Juni 1956. Senator tampan yang saat itu berusia 39 tahun  mengatakan,” "Jika lebih banyak politisi yang tahu puisi, dan lebih banyak penyair tahu politik, saya yakin dunia akan menjadi tempat hidup yang sedikit lebih baik."

Tak sekali itu saja senator itu bicara soal puisi. Saat menjadi Presiden Amerika  Serikat yang ke-35, ia berkata,”Ketika kekuasaan membawa manusia mendekati arogansi, puisi mengingatkannya kepada keterbasannya. Ketika kekuasaan mendangkalkan wilayah kepedulian manusia, puisi mengingatkannya betapa kaya keberagaman eksistensi. Ketika kekuasaan menyimpang, puisi membersihkan."

Di sinilah penulis  sastra punya peranan penting dalam masyarakatnya. Ia tak mesti jadi politisi untuk bersaksi,tapi ia pun tak bisa menutup telinga dan mata, apalagi hati, terhadap apa yang terjadi di masyarakat. Dari sinilah lalu kita melihat karya-karya sastra yang sarat dengan kritik sosial, dengan segala resiko yang ditanggung penulisnya, seperti dijumpai pada WS Rendra atau Wiji Thukul, .

Sastra Reboan pada 10 Juni 2015 ini ingin mengangkat kepedulian sastrawan, pelaku seni lainnya akan segala yang terjadi dan ditangkap dengan kepekaannya, akhir-akhir ini di masyarakat. Kita tak hanya melihat, tapi merasakan secara langsung makin beratnya biaya kehidupan sehari-hari, menyaksikan pertengkaran politik dari wakil rakyat, para pelaku sepakbola yang terpukul dengan pembekuaan keanggotaan PSSI oleh FIFA dan berbagai peristiwa lainnya.

Kepedulian, kesaksian ini tidak serta merta ditafsirkan sastrawan berpolitik, meski itu tak dilarang karena hak masing-masing individu. Sastra Reboan pun sebagai suatu komunitas tak mau terseret dalam politik praktis, tapi berusaha kritis menyikapi apa yang terjadi akibat keputusan politik para penguasa, meski hanya dalam lirik puisi,lagu, teater atau monolog.


 _______________________
Sebuah tulisan dari Kawan #ReboanSastra

Comments

Popular posts from this blog

Titik Temu Hingga Tari Salsa di Sastra Reboan

“Asupan”, kata yang sering terdengar,dipakai untuk pentingnya gizi bagi manusia. Kata yang unik karena tak ditemukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dan adanya di kamus Bahasa Sunda.Asupan berasal dari kata “asup” yang artinya sama dengan “masuk”di KBBI. Asupan tak hanya untuk soal gizi, kita pun hidup dengan banyak mendapat asupan, entah itu dalam seni modern, komunikasi dan lainnya. Namun, kita juga mendapat asupan dari diri sendiri, dari para pemimpin yang sayangny a tidak memberikan gizi bagus. Tak usah bicara dunia politik yang makin semrawut, sastra pun masih jadi anak tiri, tak pernah disinggung oleh petinggi Negara. Sastra Reboan mencoba mengambil tema “Asupan” dengan harapan ada yang bisa masuk dalam relung kesadaran kita dari para pengisi acara nanti.

SALAM SASTRA, Komunitas KAMPOENG JERAMI Luncurkan Buku Kumpulan Puisi Berjudul “TITIK TEMU”

RBI, BENGKULU - Bertepatan dengan peringatan Hari Ham se-dunia ke-66 yang jatuh pada hari ini, Rabu, 10 Desember 2014 maka dengan resmi Komunitas Kampoeng Jerami meluncurkan buku kebanggaan mereka yang diberi judul “Titik Temu”. Setelah melalui berapa tahapan mulai dari pengumpulan naskah, lay out, dan editing antologi puisi yang berupaya merekam sem ua catatan kecintaan pada sesama ini akhirnya menyeruak di dunia sastra Indonesia.  Rasa Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa serta ucapan terima kasih kepada seluruh penulis, teman, kawan, guru, dan tangan-tangan yang memiliki kepedulian pada Komunitas Kampoeng Jerami dengan telah membantu segala proses, baik dari proses awal sampai akhirnya nanti buku ini mampu hadir di beberapa wilayah dan daerah sebagai pintu masuk dalam mengampanyekan untuk saling kasih dan sayang terhadap sesama, lingkungan, serta alam semesta yang menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap kebutuhan dasar sebagai manusia.

Mengenal Sejarah Kebaya

Sepintas Mengenal Sejarah kebaya dan Tentang Kebaya Berdasarkan beberapa filosofi yang telah kami ambil dari beberapa pendapat tentang sejarah kebaya. Kebaya merupakan jenis busana yang dipakai oleh kalangan wanita Jawa, khususnya di lingkungan budaya Yogyakarta dan Surakarta, Jawa Tengah. Biasanya disertai kemben dan kain tapih pinjung dengan stagen. Baju kebaya dikenakan oleh kalangan wanita bangsawan maupun kalangan rakyat biasa baik sebagai busana sehari-hari maupun pakaian upacara. Pada busana upacara seperti yang dipakai oleh seorang garwo dalem misalnya, baju kebaya menggunakan peniti renteng dipadukan dengan kain sinjang atau jarik corak batik, bagian kepala rambutnya digelung (sanggul), dan dilengkapi dengan perhiasan yang dipakai seperti subang, cincin, kalung dan gelang serta kipas biasanya tidak ketinggalan.