Skip to main content

Pembatas Buku Daun Daun Hitam sampai Titik Temu di Kampung Jerami

Chiara, anakku.

Aku ingin mencatatnya. Begini, 14 Desember 2014. Namanya Chiara. Dia menyatu dalam diriku. Kembali ke tanah, kembali padaNya. Aku akan mengingatnya.
                                                       
(Yuli Nugrahani, Desember 2014)
 
Peziarah & Pejalan Sunyi
Ia menyukai alam dan tanaman, maka sesekali, diakhir pekan, bersama keluarga yang sangat ia kasihi, ia akan menyusuri lekuk gunung dan lembah, merasakan dingin kabut dan daun-daun basah, menghirup udara pegunungan dalam-dalam, lalu membangun tenda, bermalam dan paginya berdiri di ketinggian.

Sekali waktu ia memungut hal-hal sederhana untuk menjadi bagian dalam puisi dan cerpen-cerpennya. Selembar daun yang jatuh dan terinjak pejalan, seorang pedagang kaki lima yang sedang menyeka keringatnya, seorang ibu yang meringkuk di dekat lampu merah, keributan rumah tangga,meramunya dengan mitos-mitos jawa, kisah pewayangan dan lain sebagainya.   

Selain jurnalis, penyair, dan cerpenis,  dia juga adalah dosen tamu di Sekolah Tinggi Ekonomi Genti Aras, Bandar Lampung, aktif dalam lembaga masyarakat yang bergerak di bidang HAM dan Sosial, dan juga pejalan spiritual.

Dia menyebut dirinya peziarah. Menurutnya perjalanan membuatnya bergairah, setiap waktu adalah saat munculnya kesempatan untuk berkarya atau menghasilkan apa saja, menikmati, menghayati, mencatat, semua karunia yang telah diberikan Tuhan pada kita dan kehidupan.
 
Kado Istimewa itu Untuk Chiara

 Mungkin lantaran ingin memberikan kado istimewa bagi dirinya di tahun 2014, ia demikian aktif, demikian produktif, karya-karya lahir, seperti tak habis-habis. Ia menghadiri sejumlah pertemuan dan diskusi dari Bandarlampung hingga Sumenep, Madura.Tapi sebagai seorang teman, adik, mungkin saya akan mengatakan bahwa semuanya untuk Chiara.
Ya, tadi tahun 2014 saya dibuatnya tercengang, ia benar-benar super energik, dan tak ayal tahun 2014 telah menjadi tahun istimewa baginya. Mungkin menandai 40 tahun kelahirannya, ia telah mempersembahkan sesuatu yang sangat bermakna bagi dirinya sendiri dan keluarga.

Sendirian ia menghimpun puisi dan cerpennya, lalu di bukukan, menulis di Nuntius dan juga blog pribadi. Ruang ia menuangkan hasil amatan dan perenungannya. Bentuknya macam-macam, ada puisi, cerpen, esei, sinopsis buku,travelog, atau apa saja, selain beberapa diantaranya dikirimkan ke koran lokal maupun nasional.    

 
Launching dan diskusi buku kumpulan cerpen Daun Hitam
karya Yuli Nugrahani
 
Sekali waktu kami bertemu dan berbincang tentang beberapa hal sederhana, tentang hidup, pertemanan, tentang menulis, seni, proses kreatif, tentang spiritualitas, tentang menanam sayuran di halaman atau kebun belakang rumah, tentang tentang hal-hal yang kerap luput dalam perbincangan di forum-forum diskusi atau pertemuan dengan sejumlah sastrawan.
Suatu hari, ditemanis segelas es teh, kami ngobrol, ngalor ngidul  di dekat tempatya bekerja, seberang stadion pahoman.

"Kukira tahun 2014 itu sangat istimewa, bagi usia 40 tahunku, dengan beberapa pencapaian. Mungkin bukan kesuksesan karena gerimis toh selalu ada. Jadi, aku akan memakai waktu lebih longgar nanti untuk melihatnya kembali, untuk mengevaluasinya dengan sungguh-sungguh," ujarnya.

Seorang pengamen menyela, menyodorkan kantong plastik usai menyanyikan sebuah lagu, yang tak sungguh-sungguh kami nikmati. 

"Yach, novel tidak tercapai, tapi dua buku tunggal untuk puisi dan cerpen, juga beberapa buku antologi puisi bersama, kukira itu bisa mengganti novel, untuk sementara waktu sambil menunggu novelku rampung. Aku bukannya menghentikan novel, tapi akan ada waktunya nanti," ujarnya.
Tentu, dua buku dan beberapa antologi bersama sudah lebih dari cukup untuk menggabarkan tahun-tahun produktifnya itu, yang sulit untuk disamai sejumlah penulis lampung lainnya.  
 
 Di rak buku, Kumpulan Puisi Pembatas Buku, ada 40 puisi yang ditulis Yuli Nugrahani. Dalam banyak karyanya mampuia  melahirkan sebentuk kesenyapan, seolah hampa dan seolah tanpa ada emosi yang menggerogoti  anak-anak kata dan kalimat yang dibungkus dengan kedewasaan bahasanya yang lugas, bercerita dan seolah ini cerpen dalam bentuk puisi, tetapi ini adalah puisi bukan cerpen, namun pencitraan dan pembangunan suasananya, dialektika yang terbangun, seolah itu adalah khas seorang Penyair Perempuan Lampung yang kaya dengan tema, oleh juga dirinya adalah pegiat dan pemerhati sosial yang masih aktif sampai sekarang.
Yuli Nugrahani ini, memang kaya dengan tema, dan semuanya sama dengan apa yang telah saya sampaikan di atas, semuanya hasil dari pengamatan dan kejeliannya, tetapi kadang Yuli bermain dengan senyap sekali, sehingga saya membaca puisi ini juga hanyut, pada perbedaan angin laut di sebuah pagi, yang sama-sama memiliki tugas dan tanggung jawab dalam mengatur keseimbangan alam, jika pun tidak ada pengrusakan, angin juga tak akan mengantarkan sebuah kemelut di laut, mencintai lingkungan dan membangun tema sosial serta mengalurkan dalam bentuk puisi adalah cara yang sangat unik dan menarik dalam puisi-puisi Yuli Nugrahani. demikian pendapat Fendi Kachonk sastrawan asal Sumenep, Madura.

Di sebelah buku Pembatas Buku, 12 cerita pendek (cerpen) terhiompun dalam buku yang berjudul “Daun-daun Hitam” yang diterbitkan Indepth Publishing bekerjasama dengan Caritas Tanjungkarang-Bandar Lampung, yang juga berisi 12 sketsa karya pelukis Lampung, Dana E. Rachmat. 

Dalam buku Cerpen-cerpen karya Yuli Nugrahani ini menggambarkan kesederhanaan dalam keseharian masyarakat Lampung dengan latar belakang etnis, budaya dan agama yang beragam. Sebenarnya apa yang menarik dari buku wanita kelahiran Kediri, Jawa Timur 9 Juli 1974 ini.
 
Mulanya adalah perjalanan ke Sumenep pada 4-5 September 2014 lalu untuk kepentingan Daun-daun Hitam dan Hujan Kampoeng Jerami. Maka mulailah putaran itu. Mesti ada satu buku antologi puisi lagi di tahun ini. Tema Kemanusiaan, HAM menjadi pilihannya. Pada 10 Desember 2014, hari HAM. Titik Temu muncul sebagai judulnya. Buku Antologi Puisi berjudul Titik Temu pun diluncurkan pada 10 Desember 2014.
Proses naik turun pun mulai berbiak pada para relawannya : Fendi Kachonk, Umirah Ramata, Lia Amalia Sulaksmi, Cici Mulia Sary dan Yuli Nugrahani. Lia mesti mundur di tengah jalan. Semua paham. Proses terus berjalan. Lalu nama-nama pun bergabung. Hingga ada 60 nama!

60 nama penyair tergabung dalam buku ini. Siapa sangka?  Acep Zamzam Noor, Ady Harboy, Aji Saputra, Alex R. Nainggolan, Alra Ramadhan, Ariany Isnamurti, Bayu Taji, Bunda Umy, Cici Mulia Sary, Ciek Mita Sari, Dedy Tri Riyadi, Dewi Nova, Dita Ipul,  Djemi Tomuka, Edy Samudra Kertagama, Fendi Kachonk, Handry TM, Hasmidi Ustad, Indarvis Inda, Jamal D. Rahman, Joko Bibit Santoso, Julia Asviana, Khifdi Ridho, Korrie Layun Rampan, Lara Prasetya, Lia Amalia Sulaksmi, Lilis A Md, Mariana Amiruddin, Masita Riany, Maulidia Putri, Meitha KH, M. Faizi, Mohammad Arfani, Much. Khoiri, Muhammad Zamiel El-Muttaqien, Nissa Rengganis, Retha, Reza Ginanjar, Saifun Arif Kojeh, Sastri Bakry, Saut Poltak Tambunan, Senandung Sunyi Chamellia, Setyo Widodo, Shinta Miranda, Siti Noor Laila, Soetan Radjo Pamunjak, Sofyan RH. Zaid, Sulis Setiyorini, Syaf Anton Wr., Syarifuddin Arifin, Tengsoe Tjahjono, Umirah Ramata, Upik Hartati, Vebri Al Lintani, Warih Subekti, Weni Suryandari, Yanuar Kodrat, Yeni Afrita, Yonathan Rahardjo, dan Yuli Nugrahani.

Apa kegembiraan seorang penulis? Yaitu ketika tulisannya mulai tersebar, berjalan menemui para pembacanya. Kali ini aku bukan hanya sekedar penulis, salah satu penulis dari 60 penyair yang terkumpul dalam Titik Temu, Komunitas Kampoeng Jerami, tapi aku juga bagian yang erat melekat pada prosesnya. Sebagai editor, sebagai bagian dari relawannya, sebagai bagian yang tak mau dipisahkan darinya. Tentu saja inilah kegembiraan itu, begitu ditulisnya.
 
Selain pertemuan dengan sejumlah penulis, ia juga aktif di berbagai kegiatan keuskupan tanjungkarang, menjadi narasumber workshop penulisan kreatif, dan lain sebagainya.
Pengalamannya sebagai wartawan Harian Malang Post, selain membangun keluarga sederhana dan berpetualang bersama Piet Hendro (suami) atau Mas Hendro, yang selalu klop dan mendukung proses kreatifnya, ia juga adalah Pemimpin Redaksi Majalah Nuntius, menekuni sastra dan bidang justice and peace. Kini ia tinggal di Hajimena, Natar, Lampung Selatan. 
 
Tulisannya pernah beredar di berbagai buletin, majalah, koran dan jurnal seperti Panyebar Semangat, Terlibat, Lembur, Nuntius, Hidup, Ucanews, Femina, Malang Post, Lampung Post, Suara Karya, Sinar Harapan, Jurnal Perburuhan, dan sebagainya. Pernah menjadi editor dan penyusun buku untuk Eritis Mihi Testes (2002), Suster-suster Klaris Kapusines Sekincau (2003), Samudera Peziarahan (2010) dan Goro-goro, Kucing Gering Bagong Leong (2013) dan Antologi Puisi Hujan Kampoeng Jerami (2014). Tulisan reflektifnya masuk dalam buku : Mengais Makna di Tepi Kehidupan (2005), Varia Geliat Hati, sebuah Refleksi Pemerhati Buruh Keuskupan Tanjungkarang (2008) dan Pastoral Lembaga Pemasyarakatan, Refleksi Para Pemerhati Narapidana (2013). Cerpen-cerpennya pernah masuk dalam Antologi Cerpen Kawin Massal (Dewan Kesenian Lampung, 2011) dan Antologi Sastrawan Lampung Hilang Silsilah (Dewan Kesenian Lampung, 2013). Buku cerpennya yang baru diterbitkan adalah Daun-daun Hitam (Indepth Publishing, 2014, bersanding dengan sketsa-sketsa Dana E. Rachmat). Sedang puisi-puisinya masuk dalam buku : Turonggo Yakso, Memperjuangkan sebuah Eksistensi (2014), Gemuruh Ingatan, 8 Tahun Lumpur Lapindo (2014), dan Hujan Kampoeng Jerami (2014). Buku puisinya adalah Pembatas Buku (Indepth Publishing, 2014).
 
Demikianlah sedikit tentang Yuli Nugrahani, semoga tetap menulis, dan lebih lagi menghsilkan karya, mengungkap dunia, dan turut mengharumkan nama Lampung kemana-mana. Semakin semangat. Salam.
 

Comments

Popular posts from this blog

Titik Temu Hingga Tari Salsa di Sastra Reboan

“Asupan”, kata yang sering terdengar,dipakai untuk pentingnya gizi bagi manusia. Kata yang unik karena tak ditemukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dan adanya di kamus Bahasa Sunda.Asupan berasal dari kata “asup” yang artinya sama dengan “masuk”di KBBI. Asupan tak hanya untuk soal gizi, kita pun hidup dengan banyak mendapat asupan, entah itu dalam seni modern, komunikasi dan lainnya. Namun, kita juga mendapat asupan dari diri sendiri, dari para pemimpin yang sayangny a tidak memberikan gizi bagus. Tak usah bicara dunia politik yang makin semrawut, sastra pun masih jadi anak tiri, tak pernah disinggung oleh petinggi Negara. Sastra Reboan mencoba mengambil tema “Asupan” dengan harapan ada yang bisa masuk dalam relung kesadaran kita dari para pengisi acara nanti.

SALAM SASTRA, Komunitas KAMPOENG JERAMI Luncurkan Buku Kumpulan Puisi Berjudul “TITIK TEMU”

RBI, BENGKULU - Bertepatan dengan peringatan Hari Ham se-dunia ke-66 yang jatuh pada hari ini, Rabu, 10 Desember 2014 maka dengan resmi Komunitas Kampoeng Jerami meluncurkan buku kebanggaan mereka yang diberi judul “Titik Temu”. Setelah melalui berapa tahapan mulai dari pengumpulan naskah, lay out, dan editing antologi puisi yang berupaya merekam sem ua catatan kecintaan pada sesama ini akhirnya menyeruak di dunia sastra Indonesia.  Rasa Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa serta ucapan terima kasih kepada seluruh penulis, teman, kawan, guru, dan tangan-tangan yang memiliki kepedulian pada Komunitas Kampoeng Jerami dengan telah membantu segala proses, baik dari proses awal sampai akhirnya nanti buku ini mampu hadir di beberapa wilayah dan daerah sebagai pintu masuk dalam mengampanyekan untuk saling kasih dan sayang terhadap sesama, lingkungan, serta alam semesta yang menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap kebutuhan dasar sebagai manusia.

Peluncuran Buku Amarah Lembaga Bhinneka

Kabar Budaya – RetakanKata Kekerasan dan penindasan minoritas yang berbuntut pada pelanggaran HAM di Indonesia telah menjadi berita renyah yang setiap hari disajikan bagi masyarakat Indonesia. Mau tidak mau, kita menelan sajian itu ketika peran aparat negara dalam menyikapi masalah tersebut cenderung semakin menurun. Rakyat marah namun sulit bertindak. Rakyat menderita di negeri yang katanya kaya. Rakyat pun hilang percaya, terutama kepada pelaku pemerintahan yang korup dan abai perannya. Bagaimana kami bersuara? Perbedaan pendapat dan keyakinan dalam memperjuangkan HAM yang seharusnya adalah dinamika di era Pasca Kemerdekaan sering mendapat tekanan, bahkan pembungkaman. Anda terjebak, sulit bernapas dan semakin sulit bernapas ketika pihak yang berwenang semakin abai dalam menyelesaikan persoalan ini, sementara pihak lain berpesta di atas penderitaan rakyat (minoritas). Antologi puisi & cerpen AMARAH hadir di tengah carut-marut bangsa Indonesia dalam...