Skip to main content

Yang Menarik Dari Novel “Mata Gelap”


Mau tahu kisah pergundikan di zaman Hindia-Belanda? Baru-baru ini penerbit Jaker menerbitkan ulang novel karya Mas Marco Kartodikromo, Mata Gelap.

Novel tersebut pertamakali terbit tahun 1914 dengan judul: Mata gelap: tjerita jang soenggoeh kedjadian ditanah Djawa. Penulis novel ini, Mas Marco Kartodikromo, adalah aktivis pergerakan dan jurnalis terkemuka jaman itu.

Nah, pada hari Jumat, 12 Februari 2016, Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini bekerjasama dengan Indonesia untuk Kemanusiaan (IKA) menggelar diskusi sekaligus meluncurkan novel Mata Gelap yang diterbitkan ulang oleh Jaker itu, di jalan Cikini 43 Jakarta.

Diskusi bertajuk Pergundikan, Kolonialisme dan Nasionalisme itu menghadirkan empat narasumber, yaitu Koesalah Soebagyo Toer (penulis dan penerjemah), Dr Retor AW Kaligis (Sosiolog), Masita Riany (Pegiat Sastra),  dan Minaria Cristyn Natalia (Ketua API Kartini).

Menurut Koesalah, yang juga menjadi penyunting buku ini, novel Mata Gelap sebetulnya ada empat bagian. Yang diterbitkan oleh Jaker hanya bagian dua dan tiga. Sedangkan bagian satu dan empatnya belum ditemukan hingga sekarang.

“Di PDS HB Jassin dan Perpustakaan Nasional, yang menjadi sumber naskah ini (terbitan Jaker, red) hanya ada bagian dua dan tiga,” jelas penulis yang juga adik kandung dari Pramoedya Ananta Toer ini.

Yang menarik, kata Koesalah, novel ini sebetulnya tidak hanya bicara praktek pergundikan di zaman kolonial, tetapi juga memperlihatkan imbas praktek pergundikan pada kelas menengah pribumi.

Menurut Koesalah, mereka yang berstatus gundik Belanda, serta kelas menengah dalam pergaulannya, hidup mewah tanpa berbuat apa-apa untuk bangsanya yang tengah diperjuangkan oleh sebagain orang yang sadar (baca: kaum pergerakan).

“Mereka sekedar meneruskan kesenangan yang meninabobokan semangat,” jelas Koesalah.

Hal tersebut, lanjut dia, tergambar jelas pada kondisi sosial perempuan maupun laki-laki pribumi yang mencoba mengubah kehidupan dengan cara menyandingkan diri dengan orang yang memiliki derajat lebih tinggi.

Sementara itu, Retor Kaligis mencoba melihat kelahiran Novel karya Mas Marco itu dari setting sosial zaman itu.

“Jika dilihat dalam sejarahnya, tahun tersebut merupakan era politik etis kolonialisme Belanda. Era dimulainya pendidikan bagi kaum pribumi. Bisa dilihat pada tokoh-tokoh di novel ini, seperti Subriga, Amce, dan Sucina, yang merupakan kalangan terdidik dan bekerja sebagai pegawai rendahan,” paparnya.

Di sisi lain, kata dia, eksploitasi kolonial menguras habis sumber daya alam dan kapasitas produktif kaum pribumi. Di sisi lain, ada iming-iming untuk semakin konsumtif.

“Kontradiksi antara ketidakmampuan membeli dan iming-iming membeli serta menguatnya budaya konsumtif yang terus menggerus inilah yang kemudian menjadikan kaum pribumi mengambil jalan pintas,” jelasnya.

Situasi itulah, ungkap Retor, yang mendorong sebagian pribumi memilih jalan pergundikan sekalipun melabrak sistim sosial yang ada pada saat itu.

Sementara Masita Riany melihat karya-karya Marco, yang menggambarkan realitas sosial saat itu, sebagai pelopor dari realisme sosialis.

Selain itu, melalui pilihan bahasa yang unik, yaitu Melayu rendah, Marco telah melakukan perlawanan terhadap Commissie voor de Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) yang mempropagandakan bahasa melayu tinggi.

Masita, yang tiap hari bergelut dengan sastra ini, bercita-cita menjadikan Mata Gelap karya Marco ini sebuah script naskah teater sehingga bisa dipentaskan dan dinikmati banyak orang.

Sedangkan Minaria mencoba melihat pergundikan dalam konteks perjuangan anti-kolonial zaman itu. Menurut dia, ada juga gundik zaman itu yang terlibat dalam perjuangan anti-kolonial. Dia merujuk pada Nyai Ontosoroh dalam tetralogi Pramoedya Ananta Toer dan Nyai Dasimah.

“Nyai Ontosoroh adalah seorang perempuan tangguh yang berwawasan luas, cerdas, serta ibu yang mampu mengerjakan banyak pekerjaan yang diwarisi oleh suaminya orang Belanda. Sedangkan Retna Permata tidak menunjukkan sifat-sifat tersebut,” jelasnya.

Menurut Minar, dengan membaca novel Mata Gelap tidak akan menggelapkan mata, tetapi justru mencerahkan dan mendatangkan pengetahuan baru mengenai konteks sosial zaman itu.

Ulfa Ilyas/ Siti Rubaidah

Sumber: Yang Menarik Dari Novel “Mata Gelap”

Comments

Popular posts from this blog

Titik Temu Hingga Tari Salsa di Sastra Reboan

“Asupan”, kata yang sering terdengar,dipakai untuk pentingnya gizi bagi manusia. Kata yang unik karena tak ditemukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dan adanya di kamus Bahasa Sunda.Asupan berasal dari kata “asup” yang artinya sama dengan “masuk”di KBBI. Asupan tak hanya untuk soal gizi, kita pun hidup dengan banyak mendapat asupan, entah itu dalam seni modern, komunikasi dan lainnya. Namun, kita juga mendapat asupan dari diri sendiri, dari para pemimpin yang sayangny a tidak memberikan gizi bagus. Tak usah bicara dunia politik yang makin semrawut, sastra pun masih jadi anak tiri, tak pernah disinggung oleh petinggi Negara. Sastra Reboan mencoba mengambil tema “Asupan” dengan harapan ada yang bisa masuk dalam relung kesadaran kita dari para pengisi acara nanti.

SALAM SASTRA, Komunitas KAMPOENG JERAMI Luncurkan Buku Kumpulan Puisi Berjudul “TITIK TEMU”

RBI, BENGKULU - Bertepatan dengan peringatan Hari Ham se-dunia ke-66 yang jatuh pada hari ini, Rabu, 10 Desember 2014 maka dengan resmi Komunitas Kampoeng Jerami meluncurkan buku kebanggaan mereka yang diberi judul “Titik Temu”. Setelah melalui berapa tahapan mulai dari pengumpulan naskah, lay out, dan editing antologi puisi yang berupaya merekam sem ua catatan kecintaan pada sesama ini akhirnya menyeruak di dunia sastra Indonesia.  Rasa Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa serta ucapan terima kasih kepada seluruh penulis, teman, kawan, guru, dan tangan-tangan yang memiliki kepedulian pada Komunitas Kampoeng Jerami dengan telah membantu segala proses, baik dari proses awal sampai akhirnya nanti buku ini mampu hadir di beberapa wilayah dan daerah sebagai pintu masuk dalam mengampanyekan untuk saling kasih dan sayang terhadap sesama, lingkungan, serta alam semesta yang menjadi bagian tak terpisahkan dari setiap kebutuhan dasar sebagai manusia.

Peluncuran Buku Amarah Lembaga Bhinneka

Kabar Budaya – RetakanKata Kekerasan dan penindasan minoritas yang berbuntut pada pelanggaran HAM di Indonesia telah menjadi berita renyah yang setiap hari disajikan bagi masyarakat Indonesia. Mau tidak mau, kita menelan sajian itu ketika peran aparat negara dalam menyikapi masalah tersebut cenderung semakin menurun. Rakyat marah namun sulit bertindak. Rakyat menderita di negeri yang katanya kaya. Rakyat pun hilang percaya, terutama kepada pelaku pemerintahan yang korup dan abai perannya. Bagaimana kami bersuara? Perbedaan pendapat dan keyakinan dalam memperjuangkan HAM yang seharusnya adalah dinamika di era Pasca Kemerdekaan sering mendapat tekanan, bahkan pembungkaman. Anda terjebak, sulit bernapas dan semakin sulit bernapas ketika pihak yang berwenang semakin abai dalam menyelesaikan persoalan ini, sementara pihak lain berpesta di atas penderitaan rakyat (minoritas). Antologi puisi & cerpen AMARAH hadir di tengah carut-marut bangsa Indonesia dalam...